SEJAK pertemuan Jokowi-Prabowo pada Juni lalu, konstelasi politik nasional makin menarik perhatian publik. Peta politik yang selama Pilpres 2019 terpolarisasi tajam, kini makin cair dan adem ayem. Meskipun, ada beberapa kegaduhan yang muncul, misalnya manuver politik Surya Paloh yang kesannya tak setuju apabila Jokowi kembali bersekutu dengan Partai Gerindra atau Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang menunjukan sikap tak sepakat dengan langkah Prabowo.
Dalam konteks politik, pertemuan kedua pemimpin ini sebetulnya wajar. Pertama, dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik nasional, kedua, secara psikologi politik Prabowo dan Jokowi adalah kawan lama. Prabowolah yang menginisiasi Jokowi untuk maju pada Pilgub DKI Jakarta 2012 silam. Catatan sejarah ini penting, sebab merupakan salah satu aspek yang mendorong terjadinya rekonsiliasi politik. Apalagi jika ditelisik lebih jauh kedua partai memiliki platform ideologi yang sama, misalnya nasionalis-religius. Artinya, peluang Gerindra untuk bergabung dalam kabinet Jokowi jilid II pun terbuka lebar dan seharusnya tak perlu dirisaukan.
Secara kasat mata, dapat kita lihat bahwa banyak partai politik (parpol) yang saat ini sedang berupaya untuk mendapatkan posisinya di kabinet Jokowi jilid II, termasuk Gerindra yang merupakan rival terkuat Jokowi pada Pilpres 2019. Di sisi lainnya, partai-partai pendukung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) juga sibuk melakukan konsolidasi internalnya. Misalnya PDI-P yang telah selesai melakukan kongres ke-V serta Golkar dan Nasdem yang sedang dalam tahapan menuju kongres. Tentunya, konsolidasi internal penting dilakukan, sebab dapat berfungsi untuk mempertahankan sumber-sumber elektoral serta bertujuan sebagai refreshment organisasi. Gerindra, mestinya mengikuti langkah yang dilakukan parta-partai lainnya dan jangan terjebak pada urusan pragmatis semata, misalnya hanya fokus pada perolehan kursi menteri di kabinet. Penguatan basis-basis elektoral melalui konsolidasi internal perlu dilakukan, apalagi momentum Pilkada 2020 makin di depan mata. Meskipun, tak dapat dipungkiri posisi di kabinet dapat memberikan kontribusi elektoral serta menciptakan efek ekor jas (coat-tail effect).
Masa Depan Partai
Persoalan mendesak lainnya yang perlu diselesaikan Gerindra adalah mengurangi tuduhan sebagai personal party. Istilah Personal Party pertama kali digunakan oleh seorang intelektual Italia, Norberto Bobbio untuk merujuk pada Forza Italia, partai kanan-tengah yang berdiri sejak 1994. Personal Party dimaknai sebagai partai yang diciptakan oleh satu orang, dimonopoli satu orang dan keputusan tertinggi partai hanya berada pada satu orang. Ini sebetulnya fenomena yang lazim dalam perpolitikan Indonesia, namun berbahaya bagi masa depan partai. Gerindra misalnya, sejauh ini hanya menggantungkan elektoralnya pada sosok Prabowo Subianto, sementara banyak kader-kader partai lainnya memiliki potensi, misalnya Fadly Zon, Ferry Julianto atau bahkan Sandiaga Uno. Sandiaga Uno, meskipun telah menyatakan diri keluar dari Gerindra, namun secara politis dirinya memiliki peluang besar untuk kembali ditarik bergabung dengan partai besutan Prabowo ini. Untuk itu, konsolidasi internal partai Gerindra merupakan hal penting yang secepatnya perlu dilakukan.
Gerindra, semestinya dapat melihat pengalaman Partai Demokrat (PD) dan menjadikannya sebagai bahan pembelajaran untuk masa depan partai. Seperti kita tahu, Partai Demokrat dalam sejarahnya merupakan partai pemenang pemilu selama dua periode berturut-turut. Gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terbuka pada semua kelompok menjadikan partai ini nyaris tak memiliki musuh pada masa kejayaannya. Sayangnya, kaderisasi dalam tubuh internalnya tak berjalan maksimal dan hanya menggantungkan nasib elektoralnya pada sosok SBY. Dampaknya, dapat kita lihat saat ini bahwa elektabilitas partai semakin kendor alias turun ke level bawah. Hal ini di sisi lainnya, juga bertujuan untuk menciptakan budaya meritokrasi dalam tubuh partai bahwa kader-kader Gerindra yang kompeten sudah harusnya muncul sebagai sosok baru untuk menggantikan posisi Prabowo Subianto sehingga kaderisasi parpol tidak hanya berjalan di tempat dan merugikan partai itu sendiri.
Memperkuat Penetrasi Politik
Dengan begitu, urgensi yang perlu dilakukan Gerindra saat ini adalah melakukan konsolidasi politik secara nasional untuk memastikan bagaimana mesin dan sayap-sayap partai dapat bekerja secara maksimal untuk merespons momentum Pilkada 2020. Pasalnya sebagaimana dikatakan Duverger dalam Political Parties Their Organization and Activity in Modern State bahwa kekuatan politik sebuah partai akan ditentukan dari sejauh mana partai tersebut melakukan penetrasi teritorial sebagai bagian dari pengembangan cabang (branches) di luar induk organisasi partai. Menurut Duverger, melalui kelembagaan politik yang kuat, sebuah parpol akan memperoleh dua hal, pertama stabilitas parpol dalam menghadapi kompetisi kepartian, kedua, dapat memperkuat parpol untuk mempertahankan sumber-sumber dukungan elektoral.
Untuk itu, melihat partai-partai lain yang saat ini sedang dalam tahapan menuju konsolidasi nasional, Gerindra seharusnya sesegera mungkin menyusun kalkulasi politik yang matang, salah satu langkah awalnya adalah memperkuat konsolidasi nasional sekaligus mengevaluasi problem-problem internal partai yang berpotensi mengganggu mobilisasi elektoral di kemudian hari, salah satu langkah awal yang perlu dilakukan yakni melakukan kongres nasional secepat mungkin.
Penulis: Anggawira (Ketua DPP Tunas indonesia Raya (Tidar) / Fungsionaris DPP Partai Gerindra)