Dugaan Pemalsuan Surat Tanah di Tenayan Raya, Polisi Diminta Segera Tahan Tersangka

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 22:25 WIB
Ilustrasi

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Kepolisian Daerah (Polda) Riau diminta untuk dapat segera melakukan pemeriksaan dan sekaligus penahanan terhadap tersangka Edi Suryanto atas kasus dugaan pemalsuan surat dan penyerobotan tanah seluas 12 hektar milik Lukman Abbas di Tenayan Raya, Pekanbaru.

Edi sendiri sudah ditetapkan Polda Riau sebagai tersangka dugaan kasus pemalsuan surat tanah pada 7 Mei lalu bersama mantan Camat Tenayan Raya, Daryuzar.

Pengacara Lukman Abbas yakni Muslim Amir mengatakan bahwa pihak kepolisian sebenarnya sudah melakukan dua kali panggilan kepada Edi Suryanto untuk dilakukan pemeriksaan, namun tersangka mangkir dan tidak mengindahkan panggilan tersebut.

"Sudah pemanggilan kedua, tapi tersangka tak memenuhinya (panggilan tersebut) dan terus menghilang. Menurut aturan hukum, tersangka sudah dapat dipanggil paksa dan dikenakan status DPO (daftar pencarian orang)," ujar Muslim, Sabtu (24/8/2019).

Untuk itu, Muslim mendesak Polda Riau untuk dapat segera melakukan pemeriksaan dan sekaligus penahanan terhadap tersangka yang telah merugikan kliennya dengan tindakan pemalsuan dan penyerobotan tanah tersebut.

Pasca-penetapannya sebagai tersangka, Edi Suryanto sempat melakukan upaya hukum dengan mempraperadilkan Polda Riau di PN Pekanbaru. Namun kemudian ditolak dan PN Pekanbaru justru memperkuat penetapan tersangka yang telah dilakukan Polda Riau, sesuai dengan putusan PN Pekanbaru nomor 08/Pid.Prap/2019/PN Pbr. pada tanggal 4 Juli 2019.

Dalam amar putusannya, Hakim Praperadilan PN Pekanbaru Estiono,SH,MH, menyatakan menolak permohonan praperadilan pemohon (Edi Suryanto), dan juga memutuskan bahwa penetapan tersangka terhadap pemohon (Edi Suryanto) yang dilakukan termohon (Polda Riau) sebagaimana tercantum pada surat panggilan nomor: S.Pgl/443/VI/2019/Reskrimum, tanggal 13 Juni 2019 adalah sah secara hukum.

Kasus yang menyeret Edi Suryanto untuk kesekian kalinya ke ranah hukum tersebut, menurut Muslim, terjadi pada tahun 2018 silam. Tanah milik Lukman Abbas seluas 12 hektar di Jalan 70 Kelurahan Industri Tenayan Raya Kecamatan Tenayan Raya Pekanbaru dengan status SKGR yang dibelinya pada tahun 2009, telah diklaim oleh Edi Suryanto sebagai miliknya yang menurut pengakuannya dibeli dari Tengku Makmur (almarhum).

Namun faktanya, tanah tersebut tidak pernah dijual Lukman Abbas kepada Edi Suryanto. Penyelidikan yang dilakukan Polda Riau terhadap kasus dugaan pemalsuan lahan yang dilaporkan korban tersebut kemudian menemukan adanya dugaan tindakan pemalsuan dokumen surat tanah pada SKRG a n.Edi Suryanto.

Hasil pemeriksaan uji laboratorium di Lab Forensik Medan yang diminta penyidik Polda Riau terhadap surat SKGR a.n. Edi Suryanto juga menyatakan adanya ketidaksesuaian tanda tangan sejumlah saksi di surat tanah tersebut, termasuk tanda tangan Lukman Abbas.

Dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan Polda Riau terhadap 18 saksi, penyidik kemudian meningkatkan status kasus tersebut menjadi penyidikan serta menetapkan Edi Suryanto sebagai tersangka karena diduga keras melakukan tindak pidana pemalsuan dan penyerobotan tanah sesuai pasal 263 dan atau pasal 385 KUHP.

Namun Suryanto yang kemudian dipanggil penyidik untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tak pernah datang memenuhi panggilan. "Sudah dua kali dipanggil tersangka belum memenuhinya," ucap Muslim lagi.

Edi Suryanto pertama kali dipanggil penyidik pada 13 Juni 2019 namun tidak memenuhi panggilan tersebut. Begitu juga panggilan kedua pada tanggal 21 Juni 2019. Justru Edi kemudian malah mengajukan permohonan praperadilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka.

Namun dengan ditolaknya praperadilan oleh PN Pekanbaru, kini tak ada alasan bagi Edi Suryanto untuk menghindari jerat hukum terhadap dirinya.

Pengamat hukum Dr Suhendro SH MHUM ketika diminta tanggapannya mengatakan apabila seorang tersangka telah dipanggil penyidik namun tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat dilakukan pemanggilan paksa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

"Untuk pro justicia, apabila seorang tersangka tidak memenuhi panggilan polisi, dapat dilakukan upaya pemanggilan atau jemput paksa. Ini menurut ketentuan dalam KUHAP," kata Suhendro.

Jika polisi tidak berhasil menemukan tersangka, maka kata Suhendro, polisi dapat menerbitkan status DPO (Daftar Pencarian Orang). Kemudian dikordinasikan dengan pihak Imigrasi apabila ada indikasi tersangka akan melarikan diri ke luar negeri.

Ditambahkannya, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam kasus pidana, penyidik kepolisian tentu saja telah mengantongi bukti permulaan setidaknya dua alat bukti. Dengan demikian, sambungnya, polisi diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan demi proses hukum selanjutnya atau pro justicia.

Editor: Nandra F Piliang

Terkini

Terpopuler