Oleh: Tila Wati Ilma*
ADA satu hal yang membuatku dari kecil hingga sekarang sangat membenci dunia, yaitu kasih sayang orangtua yang tak pernah menyentuhku. Dari lahir aku diasuh oleh bibiku yang juga hidup susah, sedangkan kedua orangtuaku kabur entah ke mana. Hanya bibilah satu-satunya keluargaku.
Setelah aku berumur lima belas tahun, Bibi meninggal dunia. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan untuk melanjutkan hidupku. Sampai-sampai aku putus asa, berniat untuk meloncati jembatan yang ada di tepi jalan.
Waktu itu, udara sangat dingin, beda dengan biasanya. Orang berlalu lalang, penjual makanan berjejeran di trotoar merampas hak pejalan kaki. Tapi sekarang tak satupun orang dan penjual makanan di sana.
Sambil menangis, aku mulai melangkahkan kakiku ke jembatan, bersiap-siap untuk melompat, aku teringat dengan kata-kata bibi yang selalu menasihatiku, “Seberat apapun kesulitan, jangan pernah selesaikan dengan jalan yang bodoh. Ingatlah, bahwa Allah selalu bersama hambanya!”
Kata-kata itu selalu diucapkan Bibi ketika aku mengalami kesulitan. Akhirnya aku berubah fikiran.
Dengan pelan, kuturankan kakiku dari jembatan. Berat rasanya kakiku di gerakkan, tetapi, aku selalu menyimpan satu kalimat yang selalu dilontarkan bibi kepadaku, “Allah selalu bersama hambanya!”.
Berkat kata-kata itu, aku mampu melawan perasaan yang berkecamuk di hatiku. Dengan terisak menahan tangis, aku berjalan pulang.
***
Dengan pelan aku berusaha membuka mata yang sukar dibuka karena telah membengkak oleh tangis tadi malam. Tapi, aku tetap berusaha membuka mataku. Ketika aku membuka mata, aku terkejut bukan main. Aku berada di dalam kamar luas dan mewah. Berspringbad, lemari megah, jendela kaca yang besar, serta banyak lagi barang-barang mewah yang jarang kulihat sebelumnya.
Di sampingku duduk seorang wanita cantik berkerudung menatapku sambil tersenyum. “Alhamdulillah!” ia berkata sambil mengambilkan segelas air untukku.
“Aku dimana?” tanyaku pada wanita itu.
“Kau di rumahku.” jawabnya. “Tadi malam aku melihatmu pingsan di trotoar jalan ibu kota. Karena aku tak tahu kau tinggal dimana, jadi aku berfikir untuk membawamu ke sini. Kau tinggal di mana nak?” tanya wanita itu.
Aku hanya diam sambil berlinang air mata mengingat apa yang tejadi tadi malam. Wanita itu menghembuskan nafas mengerti.
“Aku...aku...aku tak tahu apa yang akan kulakukan sekarang dan seterusnya. Aku kehabisan akal.”
“Jika kau mau, aku siap mendengarkan ceritamu.”
Dengan suara gemetar, dan air mata menetes deras, aku mulai menceritakan apa yang terjadi. Setelah bercerita, wanita itu menanyakan orang tuaku yang tidak kusebut sedikitpun.
“Bagaimana dengan orang tuamu?” tanya wanita itu yang sudah cukup untuk membuat hatiku sesak. Aku hanya diam. Tak bisa menjawab pertanyaan wanita itu. Air mataku menetes semakin deras. Aku seakan berada di dalam hujan badai yang dahsyat. Terombang-ambing oleh badai, dan terdampar di suatu pulau yang tidak berpenghuni.
“Orangtuaku kabur ketika aku bayi.”
Di balik daun pintu, terdengar suara seseorang berjalan menuju kamar tempat aku beristirahat. Ternyata, suami dari wanita yang membawaku. Dengan pelan ia membuka pintu kamar. Ketika ia melihatku, ia tersenyum sambil mendekat.
“Alhamdulillah” kata pertama lelaki itu setiba di kamarku. “Bagaimana keadaan-nya nit?” lanjut pria itu.
“Lebih baik kita bicara di luar saja, supaya Vlanita bisa istirahat!” jawab istrinya. Lelaki itu hanya mengangguk sambil berjalan duluan keluar.
Beberapa menit kemudian, pembantu keluarga itu membawakan semangkuk bubur ayam hangat dan teh hangat untukku. Tapi, aku sedikitpun tak memiliki nafsu makan sedikitpun waktu itu.
Jika dibandingkan dengan orang sedang sehat badan atau fikiran, tentu bubur ayam itu habis dalam sekejap. Tapi, justru sebaliknya sekarang. Ku tarik nafas dalam-dalam “Mana janji allah yang selalu bersama hambanya itu?” bisikku.
“Astaghfirullahal’azim, apa maksudmu?” kata perempuan itu sambil membuka pintu kamar.
“Bibiku selalu memberi tahuku bahwa allah pasti bersama hambanya. Tapi apa buktinya sekarang?
Justru aku terombang ambing dalam kesengsaraan dan kesepian. Dari bayi aku selalu merindukan belaian seorang ibu. Dari dulu aku selalu diejek teman-teman karena orang tuaku tak jelas identitasnya. Aku... “
“Jadi, kamu putus asa dari rahmat allah? Ini semua bukan siksaan, tetapi cobaan. Hanya orang-orang yang terpilih yang mendapat cobaan yang berat, karena Allah tahu ia tidak akan berpaling. Jadi, kamu harus sabar!”wanita itu memotong kata-kataku.
Aku hanya tertunduk sambil meneteskan air mata. Sekarang hatiku rasanya sangat benci dengan kata-kata sabar. Menurutku sudah terlalu sering aku bersabar.
“Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal bersama keluarga Tobi ini.” Kata wanita itu sambil bersiap melangkah keluar kamar.
***
Lima belas tahun kemudian
Aku memandang ke jalanan kota New York dari lantai 4 salah satu restoran terbaiknya. “Come on Steve, where are you?” Kataku sambil menghembuskan nafas sedikit kesal.
Dari belakang tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Tentu saja aku sangat peka.
“I am sorry Vla, I am late.” Ternyata Steve yang berada di belakangku sambil meminta maaf karena terlambat. Aku terkekeh melihatnya. Steve yang biasanya selalu memasang muka serius pada orang banyak kecuali aku, tiba-tiba saja berubah menjadi muka yang serba salah.
“It’s okey.” Jawabku sambil terkekeh.
Oh iya, Steve adalah sahabatku di New York. Aku mengenalnya ketika keluarga Steve menghadiri acara tasyakuran keluarga Tobi yang baru saja mengadopsi seorang gadis remaja seumuran Steve. Ayahnya dan ayah angkatku adalah rekan bisnis.
Menurutku acara itu terlalu berlubihan. Tetapi, aku menghargai prinsip ayah angkatku karena ia tidak mau timbul fitnah di kalangan masyarakat yang tahu ada seorang gadis remaja yang tinggal dirumahnya.
Di acara itulah aku di kenalkan dengan Steve.
“Ada apa?” tanyaku dalam bahasa inggis. Tentu saja, karna Steve sedikitpun tidak pernah mengerti bahasa indonesia walaupun sudah aku ajarkan beberapa kali.
“Aku mau masuk islam Vla!” katanya padaku. Steve biasa memanggilku dengan sebutan Vla. Dan akupun tidak pernah mengerti kenapa. Akhir-akhir ini, Steve selalu menanya-nanyakan tentang agama islam. Bukan hanya padaku, melainkan semua orang muslim yang ia kenal. Karena itu, aku tidak terlalu terkejut, ya... walaupun itu aneh.
“Haa?” tanyaku tidak mengerti.
“Ya..... walaupun agak sedikit dadakan, tapi aku sudah memikirkannya matang-matang bersama keluargaku beberapa hari ini.”
“Kenapa kamu bisa berfikir seperti itu? itu semua tidak main-main lo.”
“Yaa, aku merasa islam itu indah dan penuh dengan keadilan. Perlindungan kepada wanita, dan cara menutup aurat dengan cara memakai hijab seperti kamu. Ibuku juga berfikiran sepertimu Vla, ia sekarang juga sudah memakai hijab.”
“Secepat itu?” tanyaku tak percaya. “Menurutku, lebih baik kamu pertimbangkan lagi karena agama itu tidak main-main lo.”
“Aku sudah memikirkannya matang-matang Vla. Dan aku yakin, aku tidak akan ragu lagi.”
Aku hanya tertegun. Kenapa Steve begitu yakin dengan agama Islam?
“Vla, are you okey?”
“Ya, i’m okey”
“O iya Vla, ibuku memintamu datang ke rumahku malam ini.”
“Ngapain?”
“Kamu kan tau Vla, kalau kami baru masuk islam, jadi, kami ingin minta bantuanmu untuk mengajari kami salat dan membaca al-qur’an”
Aku hanya terdiam.
“Steve” kataku “Aku ingin ceritakan sesuatu padamu”
“What?”
“Tapi, kamu harus janji menyimpan rahasia ini erat-erat.”
“Okey.”
“Sebenarnya, aku memakai jilbab bukan karna kesadaran diriku sendiri. Sebenarnya hanya karna orang tuaku.”
Lalu aku menceritakan semua kisah hidupku waktu kecil. Steve hanya terdiam..
“So, what about now?” Steve bertanya padaku.
“I don’t know.”
“Kamu tidak berfikir untuk kembali? Fikirkan sekali lagi Vla, lihat kamu sekarang. Kam punya segalanya, kamu pintar, berbakat, dan kamu punya orang tua yang menyayangi kamu dengan tulus.
Ya, walaupun bukan orang tua kandungmu. Seharusnya kamu bersyukur dengan keadaan kamu sekarang. Lihat di luar sana. Banyak anak kecil berumur dibawah kamu waktu kamu di tinggalkan orang tuamu yang hanya sendiri. Dia tidak memiliki satupun keluarga. Tapi dia tidak menyerah. Ciba renungkan sekali lagu!”
Aku terdiam. Dngan susah payah aku menahan air mata agar tidak jatuh berderai melampaui batas ia berada. Tetapi, air mataku kali ini memang tidk bisa lagi dijinakkan. Ia mengalir dari kelopak mata dengan sangat derasnya. sampai ke pipi, lalu mengenai hatiku.
Bagai api yang sedang menyala dengan sangat hebatnya yang disiram dengan air es. Entah aparasanya. Tapi hatiku sekarang benar-benar tlah hancur luluh. Seakan tidak bisa li obati lagi.
“Vla i know,” Steve melanjutkan kata katanya. “Ini sangat berat bagimu. Tapi, kamu harus inngat. Benci atau sayangnya kita pada tuhan, tetep kita akan kembali ke sisinya. Itukan, yang selalu kamu katakan padaku? Aku mohom untuk kali ini, lakukan kemauanku.”
Seusai bicara, Steve langsung berdiri meninggalkanku yang sedang bercucuran air mata. Aku harus bagai mana? Batinku.
***
Jam 09.00 PM New York city, aku memutuskan menerima tawaran Steve untuk mengajarkan keluarganya tentang ilmu agama. Ketika aku sampai dirumah Steve tanpa memberitahunya terlebih dahulu, aku melihat Steve tengah melaksanakan salat isya di kamarnya. Kenapa aku melihatnya?
Tentu saja, karena kamar Steve di disain dengan pintu kaca yang tebalnya kira-kira 5 cm. Maklum, orang tua Steve termasuh orang yang lumyan kaya di New york. Ayah Steve bekerja sebagai direktur bank (tidak hanya bank umum, tetapi juga bank syariah yang berada di malaisya sungguh menakjubkan). Sedangkan ibu Setve bekerja sebagai meneger bank milik suaminya.
Mulai disitulah aku merasakan kembali indahnya beragama. Semua yang mengganjal dalam hati dapat di atasi dengan mudah dan cepat. Aku menyadari kebodohanku selama ini. Ibu Steve sangat antusias untuk belajar agama. Ia sangat banyak bertanya padaku. Terutama soal pakaian. Akupun menerankannya dengan rinci.
***
Sepulang dari rumah keluarga Steve, aku mengalami kecelakaan. Mobilku di serempet bus yang menbuat mobilku hampir masuk jurang. Keningku terbentur pada setir mobil sampai aku pingsan. Aku bangun setelah beberapa jan pingsan di rumah sakit.Aku mengusap kepalaku yang di perban karna benturan tadi. Kepalaku terasa seperti di tuduk jarum.
Setelah kepalaku sudah agak sedikit baik, asu segera melakukan salat istikharah yang sudah hanpir sepuluh tahun iniku lakukan.Setelah melakukan salat, aku mengucapkan do’a sambil bercucuran air mata:
“Ya Allah yang maha penyayang, aku mengucapkan kerima kasih atas semua rahmat yang telah engkau beri, dan atas kesempatan untuk bertaubat padamu.sungguh jika bukan karna kasihsayangmu, pasti aku terjerumus dalam kesesatan.
Ya Allah yang maha pengampun, ampunilah segala dosa dan kekhilafan yng telah dilakukan hambamu ini. Jika ingkau tidak memaafkanku, sesungguhnya aku termasuk orang yang merugi. aku ikhlas menghadapi semua cobaan ini selagi engkau mau mengampuni segenap kesalahanku.
Rabbana atina fiddun-ya hasanah wafilakhirati hasana wakina ‘azabannar.Amin amin ya rabbal Alamin”
***
*Penulis adalah siswi Madrasah Aliyah Swasta Salimpaung (MAS) Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat