RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak Riau (LBP2AR) menyatakan, ada indikasi kuat banyak anak-anak di Kota Pekanbaru diperalat sebagai pengedar narkoba. Untuk itu perlu ada kebijakan tegas dari pemerintah untuk memberantas barang terlarang itu.
"Banyak sebenarnya, kasihan kita melihatnya. Karena di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) ada kasusnya narkoba, umur mereka masih muda. Tega sekali memanfaatkan anak," kata Ketua LBP2AR, Rosmaini, Selasa (23/7/2019).
Rosmaini mengungkapkan masalah tersebut sebagai bahan introspeksi semua pihak, terutama pemerintah dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2019.
Ia mengatakan lembaganya pernah beberapa kali menangani kasus narkoba yang melibatkan anak-anak. Pada periode 2014-2015, ada dua anak sekolah dasar (SD) yang ditangkap akibat menjadi pengedar narkoba seberat dua kilogram. Mereka berasal dari Kampung Dalam, daerah yang selama ini dikenal sebagai 'area merah' pengedaran narkoba di Pekanbaru.
LBP2AR mendampingi anak-anak tersebut karena mempertimbangkan mereka adalah korban dari jaringan narkoba.
"Kami mewakili anak-anak yang menjadi korban. Kami sempat menyayangkan karena anak-anak itu tidak diberi kesempatan untuk berkumpul dengan orang tuanya. Tapi ada pertimbangan di sisi lain, nilai narkoba yang dibawa besar yaitu dua kilogram," kata Rosmaini seraya menambahkan kedua anak tersebut kini sudah bebas karena telah menjalani masa hukuman.
Menurut dia, faktor yang menyebabkan anak-anak rentan menjadi korban jaringan narkoba adalah faktor lingkungan. Anak-anak menjadi pengedar karena ikut-ikutan kawan di lingkungannya. Namun, ada juga faktor ekonomi keluarga yang menjadi pemicunya.
"Bahkan ada kasus pada 2015, orangtua kandung menyuruh anaknya bawak ganja. Karena ibunya tidak bisa bawa motor, anaknya yang disuruh untuk mengantar," ujarnya.
Ia menilai perlu kebijakan yang tegas dan berkelanjutan untuk memutus mata rantai jaringan narkoba agar tidak menjerumuskan anak-anak menjadi pengedar.
Menurut dia, ada kegiatan penyuluhan kepada anak-anak di Pekanbaru namun pematerinya kurang mengena untuk menggugah anak-anak agar menjauhi narkoba.
"Kami sebenarnya ingin agar anak-anak yang pernah terjerumus dan jadi korban dihadirkan untuk membagi pengalaman, tapi usulan itu ditolak katanya anak-anak yang jadi korban tidak boleh jadi narasumber," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Riau, Syamsuar, mengaku prihatin karena daerah berjuluk "bumi lancang kuning" itu masuk urutan lima besar peredaran narkoba dari 34 provinsi di Indonesia.
"Kalau bisa kita (Riau) tak masuk urutan 10 besar, karena ini bukan menaikkan citra Riau tapi ini tantangan kita untuk bekerja bersama-sama memberantas narkoba," kata Syamsuar.
Ia mengatakan pemerintahannya berkomitmen kuat untuk memberantas narkoba karena narkoba menjadi perusak generasi muda Riau, padahal daerah membutuhkan banyak generasi penerus yang produktif dan sehat.
"Apalagi kita ketahui bersama, Riau ini dikenal dengan masyarakatnya yang agamis. Harapan kami dalam kasus narkoba Riau tidak naik lagilah rangkingnya karena menurut laporan kepala BNNP Riau bisa saja naik rangkingnya. Semua ini bisa kita minimalisir kalau kita bisa bersatu padu dengan semua 'stakeholder' yang ada di sini," ujarnya.