RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Senator atau anggota DPD RI Dailami Firdaus mengajak umat Islam menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) karena dinilai tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa dan keluar dari dasar negara yaitu Pancasila.
Dalam siaran persnya yang diterima media ini, Jumat (19/7/2019), Dailami menyebutkan beberapa alasan umat Islam menolak RUU tersebut. RUU PKS memiliki dasar mengubah cara pandang masyarakat untuk mengikuti pola feminisme yaitu "Tubuhku adalah Milikku " atau My Body Is Mine. Dimana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan dianggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual, yang tentunya berbahaya dan sangat bertentangan sekali dengan agama dan kultur budaya di tanah air.
“Dengan pemikiran ini, maka tidak ada siapapun, termasuk orang tua, nilai agama dan negara yang bisa mengontrol dan mengatur perempuan ingin berpakaian seperti apa, berperilaku seksual seperti apa dan dengan siapa,” ujar Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICWI) Orwil DKI Jakarta ini.
Dia memaparkan beberapa hal yang memperlihatkan dan menggambarkan bahwa kehadiran RUU PKS bukanlah menjadi solusi, tapi justru akan membuka konflik baru perihal kesetaraan dan lainnya.
Pertama, asas RUU PKS tidak berasaskan Pancasila dan UUD 1954 serta asas religiusitas. Kedua RUU PKS dapat menghapus dan membatalkan beberapa pasal UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, juga hukum perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi pemeluknya, karena konsep penanganan kekerasan seksual dalam Islam sangat berbeda dengan RUU PKS ini.
Ketiga, BAB VII Pasal 11 pada RUU PKS, tidak mencantumkan "Zina" (hubungan seksual diluar nikah walaupun atas dasar suka sama suka) sebagai kekerasan seksual yang dapat dihukum pidana.
Empat, RUU PKS tidak membedakan antara kekerasan seksual suami isteri dalam keluarga yang telah sah melalui perkawinan, dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh non suami istri. Lima, pemaksaan kontrasepsi.
Enam, Pasal 16 RUU P-KS yang berbunyi: "Perbuatan menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan perbuatan seksual adalah pidana perkosaan". Pasal ini sangat absurd menilai kejahatan pidana perkosaan. Sebab hubungan seksual suami istri tidak selamanya dimulai dalam posisi saling menyetujui terlebih dahulu, sebab hubungan seksual keduanya telah sah, saat mereka melaksanakan akad nikah di KUA dan lembaga hukum lainnya.
Tujuh, Pasal 17 yang berbunyi: "atau tekanan psikis lainnya, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan, diancam pidana pemaksaan perkawinan".
"Pasal ini telah mengingkari dan mendelegitimasi kedudukan dan hak kedua orang tua/wali dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang berbunyi: "Untuk melangsungkan perkawinan, seorang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari walinya". Bahkan pasal ini telah mengancam sistem wali dalam ajaran Islam, bahwa wanita bila menikah harus izin dan dinikahkan oleh walinya. Sebab "tekanan psikis" yang dimaksud dalam pasal ini tidak jelas dan rinci, bisa jadi nasihat dan bujukan orang tua agar putrinya menikah dianggap pidana," jelas Dailami.
Kedepalan, RUU PKS, mengarahkan umat Islam di Indonesia hidup dengan sistem perkawinan liberal barat (westernisme dan liberalisme), bahkan mendelegitimasi adat istiadat perkawinan dan kekeluargaan yang ada di nusantara.
Dengan beberapa alasan yang disebutkannya itu, Dailami berharap agar umat muslim menolak pengesahan RUU ini karena akan akan menjadi beban pemerintah dengan adanya pembentukan lembaga baru, dimana seharusnya pemerintah lebih menguatkan lembaga yang ada dan sesuai dengan kondisi saat ini.
Reporter: Syafril Amir