RIAUMANDIRI.CO, SIAK - Penasihat Hukum (PH) terdakwa Teten Effendi dan Suratno Konadi, Yusril Sabri dkk tetap bersikukuh kedua klien mereka tidak melalukan pemalsuan. Hal itu tertuang dalam duplik yang dibacakannya pada sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan, Selasa (16/7/2019) di Pengadilan Negri (PN) Siak.
Duplik PH terdakwa atas replik JPU Kejari Siak tersebut memuat penegasan atas pledoinya yang dibacakan pada 2 minggu lalu. Dalam duplik itu, PH terdakwa tidak sependapat dengan replik JPU semua tindak pidana yang didakwakan benar dan meyakinkan.
Padahal menurut dia, dalil JPU lemah dan mudah dipatahkan.
"Kami heran, kenapa JPU mengatakan kami gagal paham tentang surat palsu. Padahal, kami mengatakan, tidak ada surat palsu. Surat pelepasan yang dimaksud itu bukan palsu, dan palsu berbeda dengan sudah tidak berlaku lagi," kata Aksar Bone, tim PH Terdakwa yang diketuai Yusril Sabri.
Menurut dia, selama persidangan tidak ada seorang pun saksi yang mengatakan objek perkara tersebut dengan surat palsu. Justru Yusril cs yang menuding JPU yang gagal paham terkait objek perkara surat palsu.
"Kami juga telah berhasil menunjukkan secara ilmiah tentang gagal pahamnya JPU dalam perkara ini. Kami berhasil menunjukkan kepada majlis tentang KUHAP dan uraian surat dakwaan yang kacau balau," kata dia.
Menurut PH terdakwa, eksepsi pada perkara perdata dan pidana sama sekali berbeda. Tanpa eksepsi pun mereka yakin majlis sudah memahami dan sepakat dengan duplik mereka.
"Pada repliknya penuntut umum mengatakan tidak perlu kami ditanggapi karena sudah tercover dalam surat dakwaan. Padahal itu hanyalah alasan saja karena tidak sanggup membantah dalil kami," kata dia.
PH terdakwa tetap berpegang dengan pledoinya dengan keyakinan terdakwa tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan. Mereka meminta kepada majlis untuk membebaskan kedua terdakwa.
Dalam duplik itu, PH terdakwa juga kembali membahas ahli Dr Mirza Nasution yang dihadirkan JPU. Menurut dia, majlis untuk tidak mempertimbangkan pendapat ahli tersebut. Sebab, ahli terbukti tidak kompeten bicara hukum tata usaha negara (TUN). Selain itu ahli merupakan ASN yang mengajar di USU namun surat izin menjadi ahli dari UMSU.
"Ahli Fery Amsari yang kami hadirkan jelas sesuai bidang keilmuan jelas mengatajan negara dalam keadaan bahaya pada 1998. Secara fakta jelas dapat dipahami," kata dia.
Pada Duplik itu, PH terdakwa juga menyentil ahli Dr Mahmud Mulyadi yang berpendapat batal dengan sendirinya SK pelepasan itu tidak terdapat pada lapangan hukum pidana, melainkan hukum perdata. Sementara penggunaan surat yang telah mati dengan sendirinya adalah pemalsuan intelektual.
"Itu pendapat yang tidak berdasarkan hukum. Apalagi tidak ada pemalsuan inetelektual dalam hukum, sebagaimana sesuai pendapat ahli Prof Muzakir," kata dia.
Surat palsu yang dimaksud JPU tidak hanya SK pelepasan, melainkan juga Izin Lokasi (Inlok) tahun 2006 dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) 2009 PT Duta Swakarya Indah (DSI). Padahal pihaknya tetapkan mengatakan SK pelepasan asli, dan masih berlaku.
"Dakwaan JPU telah berhasil kami patahkan semuanya. Kami mohon kepada yang mulia, berkenan memutus untuk membebaskan Teten Effendi dan Suratno Konadi karena tidak terbukti serta merehabilitasi dan memulihkan nama baik Teten dan Suratno.
Dalam replik JPU sebelumnya, pledoi PH terdakwa ditolak dan diabaikan. Awalnya menyangkut keberatan ahli Dr Mirza yang dihadirkan JPU sebagai ASN yang tidak mendapat izin dari atasan pada waktu menjadi ahli di PN Siak. Disebutkan JPU, ahli ini sejak semula dari penyidik pun telah mendapat izin resmi dari tempatnya bertugas.
Berkenaan dengan pendapat PH yang menyebut ahli Dr Mirza bukan ahli TUN melainkan ahli hukum tata negara, JPU beragumentasi, meskipun secara akademik ada dibedakan antara hukum tata negara dengan hukum TUN. Tetapi di antara keduanya ada kaitan yang sangat erat. Lagi pula saat ini di kehidupan modern sangat sulit membedakan antara HTN dengan HTUN.
"Hal ini selaras juga dengan pendapat ahli dari terdakwa yaitu Husnul Abadi dan Ferry Amsari yg berpendapat sama," terang JPU.
Terkait dalil PH terdakwa berkenaan dengan asas presumtio ius causa, yaitu tentang asas di mana putusan masih tetap berlaku sampai dicabut, ternyata menurut JPU SK Pelepasan Kawasan Hutan nomor17/Kpts.II/1998 telah mati dengan sendirinya sesuai dengan diktum ke sembilan dari SK Menhut tersebut. Putusan PK TUN nomor 198/2017 yang disebut JPU dalam tuntutan hanyalah melegimitasi kenyataan di mana SK pelepasan.
"Sebenarnya telah mati sejak 6 Januari 1999, jadi bukan sebagai tempat berpijak perkara ini tetapi putusan ini yang memastikan bahwa SK pelepasan untuk PT DSI memang telah mati, kemudian digunakan untuk mengurus izin lokasi (Inlok) dan IUP pada 2006 dan 2009. Padahal kedua terdakwa telah tahu permohonan izin telah ditolak dua kali oleh bupati Siak Arwin pada 2003 dan 2004 lalu," kata dia.
Di luar sidang, PH pelapor Jimmy, H Firdaus, SH MH menanggapi duplik PH terdakwa sebagai hal yang lumrah. Sebab, tidak ada yang baru dari duplik PH terdakwa ini.
"Semuanya hanya pengulangan dari pledoi yang lalu. Intinya mereka bersikukuh tidak ada surat palsu dalam perkara ini, suratnya asli, tanda tangan asli, nggak ada yang palsu, begitu kata PH terdakw," kata dia.
Menurut Firdaus, PH terdakwa dalam membela terdakwa melihat dari sisi subjektif. Pada akhirnya hakim yang akan menilai berdasarkan fakta persidangan akan memutus berdasarkan keyakinannya terdakwa kedua terdakwa ini.
"Secara komprehensif apa yang disebut dengan menggunakan surat palsu itu, apakah memang benar hanya fisiknya saja atau termasuk juga di dalamnya sesuatu yang tidak benar masuk juga dalam terminologi dugaan kejahatan menggunakan surat palsu," kata Firdaus setengah bertanya.
Terima Surat Klarifikasi Bawas MARI
Sebelum berlangsungnya sidang agenda Duplik dari PH terdakwa, Firdaus ternyata telah menerima tembusan surat klarifikasi dari Badan Pengawas Mahkamah Agung RI (Bawas MARI).
"Surat ini ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri Siak. Surat ini sebagai respon dari surat keberatan kami atas penunjukan majlis hakim dalam perkara ini oleh Ketua PN Siak, di mana sebelumnya kepada pers ketua PN telah menggaransi tidak akan menunjuk majlis hakim yang sama dengan yang telah memegang perkara yang berkaitan dengan PT DSI," kata dia.
Ternyata kemudian garansi tersebut tidak terbukti. Sebab Ketua PN Siak Bambang Trikoro menunjuk majlis yang sama terhadap perkara in dengan perkara PT DSI yang lain.
"Yaitu perkara atas nama direktur PT DSI atas nama Misno yang telah lebih dahulu diperiksa oleh majlis hakim yang sama," kata dia.
Menurut Firdaus, Ketua PN Siak Bambang Trikoro diminta dapat menjelaskan ke publik kenapa menunjuk hakimnya yang sama. Ia berharap Bambang Trikoro menjawab dengan memberikan argumentasi hukumnya.
Firdaus menjelaskan dengan adanya klarifikasi dari MA kepada Ketua PN Siak ini merupakan cek and balances bagi lingkungan peradilan di bawah MA. Sebab, transfaransi di bawah MA benar- benar telah sesuai dengan semangat reformasi hukum di MA.
"Tentunya bilamana memang ada alasan yang sah, kami berharap kepada majlis yang mengadili perkara ini akan bersikap profesional dalam memutus perkara ini, sehingga keadilan yang diharapkan oleh masyarakat melalui putusan pengadilan nantinya dapat terwujud," tutup Firdaus.
Reporter: Darlis Sinatra