RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR mempertanyakan konflik internal penyidik yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pimpinan KPK, Senin (1/7/2019).
“Seperti apa sebenarnya gejolak internal yang menimpa KPK dan menjadi pemberitaan sejumlah media massa. Seolah-olah ada konflik yang begitu tajam antara penyidik dari kepolisian dengan penyidik internal. Kami berharap pimpinan KPK memberi penjelasan yang terang benderang. Bagaimana upaya yang sudah dilakukan KPK dalam konsolidasi internal itu,” tanya anggota Komisi III DPR Nasir Djamil dalam rapat tersebut.
Nasir Djamil dari Fraksi PKS itu meminta gejolak internal di institusi KPK itu perlu segera diselesaikan. Setidaknya, KPK perlu meluruskan isu sensitif tersebut kepada masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah konsolidasi internal jadi kebutuhan KPK jelang mengakhiri masa jabatannya.
Nasir kemudian menyinggung soal beberapa kasus yang tersangkanya begitu lama tidak diproses lagi oleh KPK. Ini menyangkut hak asasi manusia, sampai berapa lama status tersangka terus tergantung.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebut contoh mantan kepala daerah di Aceh sudah 3,5 tahun jadi tersangka. Tapi, hingga kini belum juga diajukan ke pengadilan.
Anggota Komisi III dari PDIP Arteria Dahlan mempertanyakan rotasi pegawai di lingkungan KPK. Salah satunya soal penyelidik menjadi penyidik. Untuk mengalihkan penyelidik menjadi penyidik dibutuhkan proses seleksi ketat, karena sangat jelas penyidik di KPK berasal dari Polri. Untuk mengalihkan status penyelidik menjadi penyidik tidak tepat lewat istrumen rotasi pegawai.
Arteria menjelaskan, menjadi penyidik butuh seleksi sendiri. Tidak bisa begitu saja penyelidik diangkat menjadi penyidik.
“Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pimpinan KPK menyebut, rotasi itu dilakukan untuk perpindahan pegawai dengan penekanan pada fungsi yang sama. Jadi perpindahan penyelidik menjadi penyidik tidak tepat kalau dilakukan melalui instrument rotasi,” tegasnya.
Penyelidik, sambung politisi PDI-Perjuangan itu, yang akan dijadikan penyidik berarti instrumennya adalah alih tugas, bukan rotasi. Menjadi penyidik di KPK ada tingkatan eselon dan besaran gaji yang harus dibayar. Untuk itu, KPK wajib menggelar seleksi untuk merekrut penyidik walau dari internal pegawainya sendiri.
“Tidak bisa seseorang diangkat dari penyelidik menjadi penyidik tanpa seleksi. Untuk mutasi juga harus ada usulan dan seleksi. Bila tidak ada seleksi, itu melanggar Peraturan Pimpinan KPK. Hasilnya juga tidak sah. Apalagi defenisi penyidik dan penyelidik sudah beda,” urai Arteria, seraya menambahkan, “KPK mengangkat penyidik harus penyidik Polri, bukan yang lain.”
Menanggapi pertanyaan Nasir Djamil, Ketua KPK Agus Raharjo tidak merinci jawabannya secara jelas, apakah benar ada gejolak internal di KPK. Ia hanya menjawab bahwa para penyidik yang bekerja di KPK masih terikat dengan institusi asalnya. Status penyidik tidak berhenti sementara dari institusi asalnya saat menjadi penyidik KPK.
“Monoloyalitas sulit diwujudkan. Mereka tidak berhenti sementara. Dalam tugas sehari-seharinya, bisa terjadi disharmoni,” jawabnya.
Terhadap kasus yang mangkrak, Agus menjelaskan lantaran belum menemukan angka kerugian negara yang pasti. Hal yang sama terjadi pada mantan Dirut Pelindo II RJ. Lino yang hingga kini masih berstatus tersangka. Agus menjelaskan, untuk hal ini KPK sudah berkonsultasi dengan BPK.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan, di Undang-Undang KPK jelas bahwa KPK boleh mengangkat penyelidik dan penyidik. Untuk mengangkat penyidik dari pegawai internal KPK, sudah dibuat tatacara pengangkatan yang diatur dalam peraturan KPK dan Peraturan Pimpinan KPK.
Reporter: Syafril Amir