RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Komite IV DPD RI menggelar rapat pleno membahas penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di ruang rapat Komite IV DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6) pekan lalu.
Rapat yang langsung dipimpin Ketua Komite IV DPD RI Ajiep Pandindang dan didampingi Wakil Ketua Komite IV Ayi Hambali dan Siska Marleni itu, menghadirkan Tim Ahli.
Secara umum, pembahasan dalam rapat Komite IV tersebut difokuskan pada tiga unsur objek pajak, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
NJOP adalah dasar pengenaan pajak. Besaran NJOP ditetapkan paling lama tiga tahun. Sementara NJOPTKP akan menjadi dasar pengurangan perhitungan PBB. NJOPTKP ini ditetapkan juga paling lama tiga tahun.
Nilai NJOPTKP ditetapkan paling sedikit Rp 5.000.000 untuk setiap objek pajak. Sedangkan NJKP menjadi dasar penetapan pajak terutang. Nilai NJKP ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100%.
Selain membahas objek pajak, rapat pleno juga membahas tentang kewenangan pengelolaan objek pajak, pembagian hasil penerimaan pajak dan juga masalah pengurangan PBB terutang. Dan yang tak kalah penting adalah mengenai asas dan tujuan penyelenggaraan Pajak Bumi dan Bangunan.
Pada sesi pembasan RUU dan tanya jawab, anggota Komite IV DPD RI lebih banyak memberikan masukan agar masalah pajak ini nantinya lebih berpihak pada rakyat, bukan malah memberatkan.
Adrianus Garu, anggota DPD RI dari Nusa Tenggara Timur menyebutkan, minimal dalam RUU PBB yang baru ini harus berpihak pada masyarakat desa. Alasannya, pemilik tanah yang banyak itu orang desa, tapi kalau diberatkan dengan pajak yang terlalu tinggi, lama-lama masyarakat desa akan susah. Apalagi keinginan presiden agar tanah di seluruh nusantara ini tersertifikat dengan baik.
Jika masyarakat terbebani dengan NJOP yang bervariasi dan tinggi, maka cita cita kamakmuran rakyat tidak akan terpenuhi. Jika perlu, kata Adri, DPD akan usulkan kepada Presiden agar tanah tanah rakyat di pedesaan ini digratiskan saja pembuatan sertifikatnya.
“Inikan tanah rakyat, jika kita mengacu pada pasal 33 UUD 45, bahwa tanah, bumi dan air beserta seluruh isinya untuk kemakmuran rakyat, maka pembuatan sertifikat tanah itu tidak boleh dibebankan lagi pada rakyat,” jelas Adri.
Pajak pedesaan dan pajak perkotaan. Kemudian, tambah Adri, ada yang harus dipilah pula dalam pajak perkotaan ini. Areal mana yang dikatakan areal bisnis atau usaha, itu yang kemudian digenjot pencapaian pajaknya untuk daerah atau negara, tetapi jika untuk tempat tinggal atau kegiatan sosial keagamaan harus dipertimbangkan.
Pada sisi lain, Adrianus mengatakan reformasi agraria selama ini jangan hanya semboyan saja. Satu sisi, reformasi agraria ditujukan untuk pencapaian target, tapi disaat yang sama juga sering dipersulit. Masalah tanah yang untuk kebutuhan rakyat diserahkan ke daerah.
Lebih jauh, ia mengatakan banyak kendala yang ditemui DPD ketika kunjungan ke daerah-daerah tentang permasalahan pajak tanah masyarakat ini. Adri mencontohkan, di daerah pemilihannya, daerah pariwisata Labuan Bajo. Karena pajak tanah yang begitu tinggi, masyarakat yang punya tanah di sana semakin susah untuk meningkatkan produktifitasnya.
Masalah keberpihakan terutama di daerah-daerah, masalah sertifikat tanah masyarakat sering terabaikan. Menurutnya, ia pernah berbicara lebih ekstrem dalam forum rapat agar BPN ini didaerahkan, karena ini sesuai dengan semangat otonomi daerah.
DR, Ir Herman Darnel Ibrahim, M.Sc. IPU, anggota DPD RI daerah pemilihan Sumatera Barat, meminta agar cara menghitung pajak tanah masyarakat harus transparan. Jangan sampai pemerintah menghitung NJOP tanah tersebut semena-mena, tapi harus berkeadilan.
Herman menambahkan, perlu ada cara yang berkeadilan dalam menentukan pajak tanah masyarakat. Ia berharap masukan-masukan yang diberikan dalam rapat komite ini bisa mengakomodir rasa berkeadilan dan rasional.
Contoh berkeadilan yang dikemukakan Herman adalah jika ada lahan pertanian di sebelah mall, maka tanah tersebut diberi NJOPTKP yang berbeda dan NJKP berbeda pula. Jika mall tariff pajaknya 100%, maka lahan pertanian tidak bisa disamakan pajaknya dengan PBB mall tadi. Lahan pertanian harus lebih rendah PBB-nya dibanding mall.
“Itu baru bisa dikatakan mengakomodir pajak yang berkeadilan untuk rakyat,” kata Herman.
Selain itu, Herman juga menginginkan untuk lahan pertanian tarif PBB-nya diseragamkan. Penyeragaman ini, kata Herman dimaksudkan agar para petani tidak terbebani dengan pajak tanah yang tinggi.
“Maunya saya, agar harga padi tidak menjadi tinggi dan para petani tidak terbebani, walau NJOP tanah pertanian itu tinggi, sebaiknya disamakan. Hanya belum tercover dalam rumus yang sedang kita bahas ini,” sebut dia.
Lahan-lahan yang termasuk lahan khusus yang harus mendapat keringanan bea pajak ini antara lain, sawah, pertenakan ayam, ikan dan juga rumah ibadah serta sekolah yang biayanya dari swadaya masyarakat.
Sebaiknya lahan-lahan itu menjadi kekhususan, sehingga tidak menjadi isu sosial dalam masyarakat. Caranya bisa saja dibikinkan pasal khusus untuk lahan-lahan tertentu tadi. Tidak lagi mengikuti NJOP secara umum. Hal lain yang menjadi perhatian Herman adalah mengenai lahan hunian atau rumah yang ditinggali.
Herman mencontohkan terhadap seorang pensiunan yang punya rumah bagus dan tanah luas di tempat yang harga tanahnya mahal, sehingga otomatis NJOP-nya tinggi. Jangan sampai seorang yang awalnya memiliki rumah yang tanahnya luas, tapi karena dia sudah pensiun sementara gajinya tidak cukup untuk bayar pajak, kemudian dia dipaksa pergi dari rumah tersebut karena tidak mampu membayar PBB-nya.
”Jangan sampai orang tersebut pindah atau dipaksa menjual tanahnya karena tidak sanggup bayar pajak. Ini sangat mengganggu rasa keadilan kita,” pungkasnya.
Reporter: Syafril Amir