RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Tersangka kasus SKL BLBI, Sjamsul Nursalim kembali mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini kedua kalinya dia mangkir untuk dikorek keterangannya terkait kasus yang terindikasi merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.
Nama Sjamsul Nursalim pada 2018 lalu masih masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Kekayaannya ditaksir mencapai USD810 juta atau setara Rp11,34 triliun.
Lalu apa bisnis yang digeluti oleh Sjamsul? Dikutip dari laman iNews.id, pria berusia 78 tahun itu saat ini tinggal di Singapura meski sebagian bisnisnya masih berjalan di Indonesia. Merupakan anak dari penjual karet, bisnis Sjamsul saat ini tersebar di sektor properti, batu bara, dan ritel.
Salah satu perusahaannya, yaitu Gajah Tunggal Group. Meski nama Sjamsul tidak tertera sebagai pemilik perusahaan, kuat dugaan Sjamsul merupakan pemilik produsen ban itu. Gajah Tunggal memegang sejumlah merek ban seperti GT Radial, IRC, dan Zeneos.
Dalam laporan keuangannya, sebesar 49,5 persen saham Gajah Tunggal dikuasai oleh Denham Pte Ltd, perusahaan yang berbasis di Singapura. Denham merupakan anak usaha Giti Tire yang dikuasai Sjamsul.
Dalam persidangan tipikor yang digelar 30 Juli 2018, Gajah Tunggal dan anak usahanya diketahui menjadi salah satu aset milik Sjamsul yang dijaminkan untuk membayar utang BLBI.
Sjamsul adalah salah satu obligor BLBI lewat Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimilikinya. Saat itu, sekitar 80 persen dari bantuan bank sentral justru dimanfaatkan untuk kepentingan Gajah Tunggal.
Gajah Tunggal juga memiliki sejumlah anak usaha di antaranya PT Softex Indonesia (pembalut wanita), PT Filamendo Sakti (produsen benang), dan PT Dipasena Citra Darmadja (tambak udang, sewa gudang)
Selain itu, Sjamsul menguasai saham Polychem Indonesia yang sebelumnya bernama GT Petrochem. Dalam laporan keuangan, 25 persen saham produsen poliester ini dimiliki Gajah Tunggal dan 10,42 persen dimiliki PT Satya Mulia Gema Gemilang.
Perusahaan yang disebut terakhir diketahui juga menguasai saham mayoritas Mitra Adiperkasa, usaha yang menaungi sejumlah merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King.
Tak hanya itu, Sjamsul juga memiliki saham di Tuan Sing Holdings, perusahaan properti yang berbasis di Singapura. Perusahaan itu mengembangkan properti komersial dan industri di China dan Singapura.
Sebelumnya, KPK sudah menetapkan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Penetapan tersangka terhadap Sjamsul Nursalim dilakukan setelah pimpinan melakukan gelar perkara terkait hasil pengembangan perkara terpidana mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temanggung. Hasil gelar perkara, status Sjamsul Nursalim telah naik ke penyidikan.
"Ya sudah (tersangka)," ujar Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat dikonfirmasi wartawan perihal status tersangka Sjamsul Nursalim, di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 28 Mei 2019 kemarin.
Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim diketahui sudah dua kali mangkir alias tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa dalam proses penyelidikan perkara korupsi penerbitan SKL BLBI. Pasangan suami-istri tersebut disinyalir saat ini sedang berada di Singapura.
Alex mengaku sudah mengetahui bahwa Sjamsul dan Itjih sudah menetap di Singapura. Namun, KPK telah memanggil beberapa ahli untuk dimintai pendapat terkait ketidakhadiran Sjamsul dan istrinya di persidangan.
Dalam perkara ini, KPK baru menjerat satu orang sebagai tersangka yakni, Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin merupakan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah divonis bersalah dalam kasus ini.
Syafruddin diganjar hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.
Majelis hakim meyakini Syafruddin terbukti bersalah karena perbuatannya melawan hukum. Dimana, menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim tahun 2004. Padahal, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, tidak ada perintah dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapusbukukan utang tersebut.
Dalam analisis yuridis, hakim juga berpandangan bahwa Syafruddin telah menandatangi surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak.
Syafruddin juga terbukti telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim. Penerbitan SKL BLBI itu menyebabkan negara kehilangan hak untuk menagih utang Sjamsul sebesar Rp4,58 triliun.