PEKANBARU (HR)-Rasa sedih dan kecewa terpancar dari wajah Sulastri Yahya (60). Bagaimana tidak, ia telah kehilangan suami Agusni Bahar dan anaknya Dodi Haryanto. Namun saat ini, ia terpaksa harus menerima pil pahit, setelah Presiden Joko Widodo memberi grasi kepada Dwi Trisna Firmansyah alias Dwi, salah seorang pelaku pembunuhan sadis terhadap kedua anggota keluarganya tersebut.
Terhadap kebijakan itu, pihak keluarga akan balik menyurati Presiden untuk mempertanyakan keputusan itu. Pasalnya, pemberian grasi itu dinilai tidak tepat dan telah melukai hati keluarga korban yang dibunuh dengan sadis.
Ketika dijumpai di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (16/3), Sulastri yang didampingi anaknya Riah Rahmat Setiadi (21) dan adik iparnya Musniza (43), yang tidak lain adalah adik kandung korban Agusni Bahar, mengungkapkan, grasi yang diberikan Presiden RI ke-7 itu telah mencederai rasa keadilan bagi dirinya.
"Saat sidang di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, kami telah menyampaikan bukti kuat keterlibatan para pelaku. Mengapa sampai di Presiden, kok dengan mudahnya memberikan grasi kepada pembunuh sadis itu," ujar Sulastri, tak kuasa menahan tangis.
Bukti tersebut, berupa rekaman percakapan antara pelaku Candra dengan pelaku lainnya, yang terekam dalam memory card milik Candra. Kepada Haluan Riau, Sulastri pun menyerahkan transkrip rekaman yang telah disalin di kertas.
"Dalam transkrip tersebut jelas, kalau para pelaku telah kerap melakukan pembunuhan dan mereka saling mengenal satu sama lain," lanjutnya seraya memperdengarkan rekaman tersebut, dimana terdengar percakapan yang menggunakan bahasa Jawa.
Ditambahkan anak korban, Rian, kalau memory card tersebut ditemukannya dalam sebuah toples, saat dirinya bersama anggota keluarga yang lain membersihkan rumah pasca peristiwa nahas menimpa ayah dan kakaknya tersebut.
"Sebelum kejadian, Candra pernah menanyakan ke saya, apakah saya ada melihat memory card miliknya. Saat itu, saya mengatakan tidak ada. Usai kejadian, saya temukan di dalam sebuah toples," terangnya.
Tak Pernah Minta Maaf
Dari bukti rekaman tersebut, tambah Musniza, membuktikan kalau tidak ada alasan pembenar, Presiden Joko Widodo mengabulkan grasi terpidana, Dwi Trisna. Karena, dari informasi yang diterimanya melalui media, kalau yang menjadi pertimbangan presiden para terdakwa tidak saling mengenal, baru pertama melakukan aksi pembunuhan dan telah meminta maaf kepada keluarga korban.
"Dari rekaman tersebut jelas, kalau para pelaku saling kenal, pernah melakukan aksi pembunuhan sebelumnya. Selain itu, Dwi tidak pernah meminta maaf kepada keluarga baik pelaku sendiri maupun pengacaranya," tambah Musniza.
Meski demikian, Musniza menyatakan kalau hingga kini pihak keluarga belum menerima salinan petikan keputusan grasi dari Presiden tersebut. "Kalau sudah kita terima, kita akan tahu apakah pertimbangan tersebut disampaikan pelaku kepada pengacaranya, atau pengacaranya yang pandai-pandai. Kalau ada kebohongan disana, akan kita laporkan ke polisi," ancam Musniza, yang juga berprofesi selaku pengacara tersebut.
Diharapkannya pula, dalam kesempatan ini agar pemberitaan yang beberapa hari beredar dapat berimbang, dan Presiden Jokowi juga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Pak Presiden harus adil menyikapi hal ini. Kami akan surati presiden setelah mendapatkan salinan petikan grasi," pungkasnya.
Untuk diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru yang dipimpin Ida Bagus Dwiyantara SH, pada Selasa (25/9/12) silam menyatakan kalau ketiga terdakwa, yakni Candra Purnama alias Hendra (yang bekerja pada korban,red), Andi Paula dan Dwi Trisna Firmansyah, terbukti melanggar Pasal 340 junto Pasal 55 KUHP tentang pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama.
Putusan tersebut dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru dan Mahkamah Agung (MA). Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni hukuman penjara selama seumur hidup.
Peristiwa pembunuhan yang dilakukan terhadap korban sangat sadis ini terjadi Senin (16/4/12) silam, sekitar pukul 05.30 WIB. Para terdakwa bersama dengan Rohim yang masih buron dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), membunuh korban di Toko Ponsel Niagara Jalan Kaharuddin Nasution, Kecamatan Bukitraya, Pekanbaru.
Agusni yang sedang salat subuh, dipukul tengkuknya pakai kayu balok oleh Rohim. Akibatnya korban tersungkur di atas sajadah di lantai dua ruko tempat dia menetap. Saat itu, korban sempat memberikan perlawanan dan bergumul dengan Rohim. Namun datang Andi Paula membantu Rohim dan langsung membacok korban. Tidak sampai di situ, Rohim kemudian membacok beberapa kali di bagian kepala dan leher korban hingga akhirnya Agusni tewas bersimbah darah.
Mendengar ada suara keributan, anak korban bernama Dodi yang mendengar adanya keributan langsung keluar dari kamarnya. Namun Dodi juga dibacok oleh terdakwa Hendra bersama Dwi Trisna Firmansyah berulang kali. Akibatnya, Dodi pun tewas seketika itu juga.
Setelah membunuh kedua korban, pelaku juga menguras harta korban. Diantaranya, satu unit mobil jenis Daihatsu Terios, 2 unit motor, 12 unit handphone, voucher, STNK, BPKB dan 3 tas yang berisi uang.
Hasil rampokan itu, dijual terdakwa melalui Suroso (yang telah divonis satu tahun penjara,red) di Palembang. Hingga akhirnya, para terdakwa berhasil dibekuk Jajaran Polresta Pekanbaru.
Pada tanggal 13 Februari 2015, Presiden Joko Widodo, mengabulkan grasi yang diajukan salah seorang pelaku, yakni Dwi Trisna Firmansyah, sebagaimana yang dimohonkan Penasehat Hukumnya, Asep Ruhiat. Petikan putusan tersebut menyatakan kalau ada perubahan jenis pidana dari pidana mati yang dijatuhkan kepadanya menjadi pidana penjara seumur hidup.
Sementara, terhadap kedua terpidana lainnya, Candra Purnama alias Hendra dan Andi Paula, dipastikan akan dieksekusi. Hal tersebut, setelah upaya permohonan grasinya ditolak Presiden Joko Widodo.
"Dua pelaku lainnya, tetap dieksekusi mati. Namun untuk pelaksanaan eksekusinya, kita menunggu instruksi dari Kejaksaan Agung," kata Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum (Pidum) Kejari Pekanbaru, Ferly Sarkowi. (dod)