RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Margarito Kamis menilai pelaksanaan Pemilu 2019 banyak terjadi kecurangan atau tidak berlangsung jurdil seperti yang diamanatkan konstitusi.
"Konstitusi kita dengan tegas menyebutkan bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan jurdil," kata Margarito dalam Diskusi Pemilu, di Jakarta, Senin (22/4/2019).
Pada kata Margarito, sebagian orang mengatakan bahwa negeri demokrasi terbesar keempat di dunia, dengan kemajuan demokrasi yang luar biasa.
"Tetapi saya kira, dengan kemajuan dan kehebatan demokrasi kita ini mungkin bangsa-bangsa lain di dunia yang ingin belajar curang dalam pemilu, datanglah ke sini," ujar Margarito.
Berbagai kecurangan yang diamatinya, hologram C1 yang resmi itu tidak disampaikan sebagian dan yang sampai cuma fotokopi serta dinput data salah dan kesalahan ini berjalan secara terus menerus.
"Dari segi konstitusi, sebagai orang tata negara, saya ingin katakan bahwa sebegini jauh kelihatan saat Pemilu ini tidak cukup unsur jurdilnya," ujarnya.
Sedangkan menurut Ketua Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, Pemilu yang diselenggarakan dengan teknologi informasi yang semakin canggih dan semua orang sudah bisa mengakses, seharusnya bisa menjadi semakin transparan, semakin jujur dan semakin adil karena semua orang tidak bisa lagi berani bermain-main.
"Pemilu 2019 ini seperti pemilu para pemula. Padahal kita tahu bahwa kita telah menyelenggarakan pemilu pada tahun 1955 itu sangat jurdil dan sangat bagus. Tiba-tiba di era sekarang ini yang modern lebih mudah diakses justru kekacauan semakin parah," tegasnya.
Dia melihat pemilu sampai hari kelima ini sudah bukan lagi peristiwa pertarungan electoral, tapi sudah masuk pertarungan yang real politik kekuatan. Karena kedua paslon merasa menang.
Kemudian yang menarik menurut Adhie adalah yang bertarung ini dipaksa untuk menampilkan dokumen data masing-masing.
"Ini saya rasa aneh. Kita berkompetisi, misalnya main bola atau main tinju. Kemudian kita membawa data-data sendiri, bahwa pukulan saya masuk, kita harus rekamannya diaduk kemudian diverifikasi dan datanya benar atau tidak. Ini benar-benar tidak masuk akal, di luar logika kompetisi," tegasnya.
Seharusnya kompetisi ini menurut dia, yang mengatur adalah penyelenggara, wasitnya dan sebagainya. Bukan yang berkompetisi mengumpulkan data. Seperti Prabowo-Sandi dengan data-data yang dikumpulkan menang. Sementara quick count yang dimobilisasi menyatakan kalah.
"Ini kemudian pertarungan menjadi kuat. Ketika mau protes ditentangnya dan silakan adu data kalau mau melawan. Ini sudah masuk menang-menangan, dan ini sudah di luar konteks electoral lagi , dan ini sudah betul-betul pertarungan kekuatan politik," ujarnya.
Padahal menurut dia, seharusnya di hari yang kelima tensi diturunkan. Artinya yang menang negosiasi dan yang kalah bagaimana mekanisme peralihan. Kemudian semuanya ditutup kemudian membangun strategi bersama dan kemudian hal-hal yang kebijakan-kebijakan yang strategis dibicarakan.
Ikut menjadi pembicara pengamat dari Universitas Paramadina Herdisyah Syahrasyad dan Ketua Perserikatan Wartawan Pro Demokrasi Arief Gunawan.
Reporter: Syafril Amir