RIAUMANDIRI.CO - Kabar duka berhembus dari tanah Papua. Banjir bandang menerjang sembilan kelurahan di kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (16/3) malam.
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin (18/3) pukul 15.00 WIB, mencatat 79 orang tewas dan 43 korban belum ditemukan. Lebih dari 4 ribu jiwa terpaksa mengungsi.
Ironis memang, di tengah duka nestapa yang menimpa saudara sebangsa, ada sebuah kegiatan dari salah satu pemimpin negeri ini yang mencederai hati rakyat, seolah menari di atas derita saudaranya. Itulah Apel Kebangsaan yang menghabiskan dana hingga 18 miliar rupiah.
Perbandingannya sungguh fantastis, untuk penanggulangan bencana 1 miliyaran dan untuk apel kebangsaan 18 miliyaran.
Angka 18 M tersebut sangat-sangat timpang jika dibandingkan dengan bantuan yang diberikan pemerintah kepada korban banjir bandang di Sentani, Papua. Seperti diungkapkan oleh aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai atas keprihatinannya terhadap seremonial tersebut.
Dia prihatin di tengah kepiluan ini, justru uang negara miliaran rupiah dihambur-hamburkan untuk penyelenggaraan Apel Kebangsaan yang telah digelar (Minggu, 17/3) mulai pagi hingga siang hari di Simpang Lima, Semarang.
"Nalar publik tercederai! Di saat musibah menimpa bangsa saya, tim Jokowi berpesta pora. 18 miliar uang negara, uang rakyat kecil untuk sebuah acara musik yang dihadiri hanya 2 ribuan orang," ujarnya, Senin (18/3).
Pigai pun membandingkan alokasi bantuan dana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Papua. "Bantuan BPBP Papua hanya 1 miliar untuk rakyat Sentani Papua," jelasnya. (rmol.co)
Anggaran 1M Vs 18M adalah bukti bobroknya penerapan demokrasi di negeri ini. Membuat tercabutnya akar kemanusiaan pada setiap penganutnya. Sampai hilang prikemanusiaan untuk menyelamatkan rakyat yang terkena bencana. Memprioritaskan penghamburan uang yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan rakyat. Ini merupakan bukti kegagalan penguasa dalam mendidik dan membina rakyatnya.
Mubazir memang, uang segitu banyak dihamburkan untuk bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Rakyat kembali harus rela gigit jari. Ini bukti nyata bahwa rakyat bukan prioritas utama.
Hal ini tidak akan terjadi jika penguasa negeri ini bertakwa. Atas dorongan ketakwaan, akan memprioritaskan penggunaan dana untuk menanggulangi bencana. Bukan untuk hura-hura. Bukan untuk foya-foya. Bukan untuk pesta pora.
Seandainya pemimpin ini paham bahwa manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)
Dengan paham tujuan hidupnya adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya maka manusia tidak akan mengerjakan sesuatu hal yang sia-sia. Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda, “Kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat tidak akan beranjak hingga dia ditanya tentang umurnya untuk apa dihabiskan? Tentang ilmunya apa yang telah diamalkan? Tentang hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan? Tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan?” (HR.Tirmidzi)
Oleh karena itu, dengan tertancapnya akidah yang kuat (akibat ri’ayah yang benar dari penguasa). Maka, umat Islam tidak akan berani menghambur-hamburkan hartanya, apalagi jika harta itu adalah amanah dari rakyat. Penguasa, sebagai pemegang kontrol terpenting bagi masyarakat, tidak akan mengizinkan digelarnya acara-acara yang diisi dengan kegiatan maksiat semisal jogetan, mabuk-mabukan, apalagi menggunakan uang negara.
Maka tidak ada solusi lain selain mengembalikan kembali kepemimpinan yang bertakwa di tengah umat. Agar lahir kembali pemimpin-pemimpin yang berperan sebagai peri'ayah (pemelihara) serta junnah (pelindung).
Wallahualam bi ash-showab
Ditulis oleh Devi Novianti
Seorang Pemerhati Generasi