RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Meski Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pemilihan presiden dan legislatif baru akan dilaksanakan tanggal 17 April 2019 mendatang, politisi di Senayan sudah menginginkan pilpres dan pileg dipisahkan kembali.
Setidaknya harapan itu disampaikan anggota DPR dari PDI Perjuangan Effendi Simbolon dan anggota DPR dari Partai Golkar Firman Soebagyo dalam diskusi bertema "Tenggelamnya Caleg Ditengah Hiruk Pikuk Pilpres" di Media Center DPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Menurut Effendi Simbolon, tingkat kerumitan pilpres dan pileg dilakukan secara serentak pada Pemilu 2019 ini begitu tinggi. Tingkat kesulitan memilih saja sudah menjadi masalah sendiri karena ada lima surat suara yang akan dipilih. Belum lagi teknis penghitungan suara yang memerlukan waktu yang lama.
"Di ruangan ini (wartawan yang menjadi peserta diskusi -red) saja jika kita simulasi, yakin 50% belum ngerti. Jangan salahkan mereka (pemilihP, pemilihan kompleksitas. Masalah itu kita yang buat sendiri," ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Karena itu dia setuju kalau pemilu pemilihan anggota legislatif (pileg) dengan pemilu pemilihan presiden (pilpres) dipisahkan kembali. "Bukannya harus, tapi seharusnya. "Kita harus sadarlah. Menurut saya, bagi kita orang Indonesia, belum kebutuhanlah demokrasi itu. Jujur sajalah," kata Effendi.
Simbolon juga merasa heran dengan demokrasi yang terapkan sekarang ini. "Demokrasi model predator seperti ini sudah gak jelas. Jadi kita memilih demokrasi dibilang liberal juga gak seperti ini," jelasnya.
Sedangkan Firman Soebagyo menyebutkan fakta yang ditemuinya di lapangan bahwa pemilu serentak itu masih banyak kelemahannya. Masyarakat tidak melihat bahwa pileg dan pilpres ini sama-sama penting. Pada hal keduanya sama-sama penting. Pilpres menangani masalah pemerintahan dan pileg menangani persoalan di legislatif yaitu membuat regulasi, membuat kebijakan anggaran dan fungsi pengawasan.
Kondisi tersebut kata Firman, juga didukung oleh media, baik cetak, elektronik dan juga media sosial. Sehingga dalam pemilu yang secara serentak ini kecenderungannya pemilu legislatif sudah dianggap tidak penting .
"Pada hal sebetulnya justru pemilu legislatif justru jauh lebih penting, karena pemilu legislatif akan memilih calon-calon anggota DPR yang akan menjadi regulasi yang menjadi dasar aturan hukum dalam tata kelola pemerintahan dan negara," jelas politisi senior Golkar itu yang menyebutkan beberapa hal negatif lainnya dalam pemilu serentak itu.
Bahkan Firman Soebagyo menyebut UU Pemilu yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 ini merupakan musibah. "Undang-undang Pemilu yang sekarang ini musibah. Karena memang tidak pernah disimulasikan sedemikian rupa sehingga dampaknya sekarang ini nyaris yang namanya pileg tidak tersentuh oleh media, tidak tersentuh oleh masyarakat bahwa tujuan untuk anggota DPR juga untuk memilih calon yang integritas," ujarnya.
"Oleh karena itu, kesimpulan sementara bahwa pemilu seperti ini tidak boleh dipertahankan lagi. Ke depan harus kita rubah, agar lebih efektif dan efisien. Tujuannya kemarin pertama kali undang-undang diundangkan itu kan agar pemilu itu lebih efisien, jangan dilihat dari isis uangnya," ulasnya.
ke depan dia sudah menyampaikan wacana, supaya lebih efektif dan efisien, pemilu legislatif secara serentak yaitu memilih DPR RI, DPRD provinsi kabupaten dan DPD RI.
Kemudian juga ada Pemilu eksekutif secara serentak yaitu memilih presiden, wakil presiden, kepala daerah. Dengan demikian, pemilu itu hanya terjadi dua kali. "Kalau itu terjadi maka terjadi efisiensi yang sangat luar biasa dan itu akan lebih efektif untuk menurut pandangan saya," kata Firman.
Sedangkan pengamat dari LIPI Muhammad Khoirul Muqtafa dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2019, Manik Marga Mahendrata yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut juga setuju pemilu serentak pilpres dan pileg dievaluasi.
Reporter: Syafril Amir