RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - PT MAM Energindo seharusnya diberi sanksi tegas berupa pemutusan kontrak dan di-blacklist atau dimasukkan ke dalam daftar hitam. Pasalnya, perusahaan itu tidak mampu menyelesaikan pembangunan gedung Mapolda Riau sesuai waktu yang ditentukan.
Pekerjaan itu dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau. Proyek bernama Pekerjaan Fisik Pembangunan Gedung Kantor Polda Riau.
Adapun sumber dana berasal dari APBD Provinsi Riau Tahun Anggaran (TA) 2018 dengan nilai pagu Rp170.132.976.000. Proyek itu dimenangkan PT MAM Energindo menyingkirkan 129 perusahaan lainnya. Adapun nilai penawaran adalah Rp161.626.000.0000.
Diketahui, ada empat bangunan yang dikerjakan pada lahan seluas 6 hektare, dan total luas bangunan 22 ribu meter persegi.
Bangunan pertama yaitu bangunan utama Mapolda, yang terdiri dari lima lantai. Ditambah dengan satu lantai basement. Luas bangunan sendiri mencapai 16.588 meter persegi. Bangunan kedua, bangunan sayap barat. Di sini, nanti akan berfungsi untuk ruang Ditpamobvit. Gedung ini lebih rendah dari gedung utama, yakni dengan dua lantai, dengan luas bangunan 2.916 meter persegi.
Bangunan ketiga, adalah bangunan sayap timur. Bangunan ini difungsikan untuk Dittahti dan Ditresnarkoba. Sama dengan bangunan sayap barat, bangunan ini juga berdiri dengan dua lantai dan luas bangunannya 2.916 meter persegi.
Terakhir, adalah bangunan SPKT dan Biddokkes. Bangunan ini juga berdiri dua lantai, tapi luas bangunannya cukup kecil dibanding dengan yang lainnya, yakni 1.188 meter persegi.
Mulanya, waktu kerja yang disepakati adalah hingga akhir 2018 kemarin. Namun, pihak rekanan tak mampu menyelesaikannya, sehingga diberi perpanjangan waktu hingga 50 hari ke depan, atau berakhir pada 20 Februari 2019 kemarin. Meski begitu, perpanjangan waktu itu tak mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak rekanan.
Pantauan di lapangan, pengerjaan proyek bernilai ratusan miliar rupiah itu terlihat masih jauh dari kata selesai. Sejumlah pekerja masih terus melakukan aktivitas pembangunan.
Seperti pada gedung utama. Di sana terlihat alumunium composite panel (ACP) belum terpasang secara keseluruhan. Selain itu, pelataran baik di depan maupun di belakang gedung utama belum selesai.
Sedangkan, dua bangunan yang berada di sebelah kanan maupun kiri gedung sebelah kanan, masih dalam tahap pengerjaan. Begitu juga dengan bagian bangunan lainnya, yang terlihat belum terselesaikan.
"Berarti rekanan tidak konsisten,, jika melebihi waktu dari yang telah ditetapkan, yaitu perpanjangan 50 hari kalender," ujar Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Triono Hadi, Jumat (1/3/2019).
Dikatakannya, saat kontraktor menandatangani kontrak kerja dan perpanjangan waktu, berarti mereka menyatakan kesanggupannya menyelesaikan pekerjaan. Jika juga tak selesai, berarti pihak rekanan telah wanprestasi.
Untuk itu, kata dia, harus ada sanksi tegas yang diberikan kepada rekanan. "Maka kerjasama antara pemberi kerja dengan pihak rekanan. Untuk itu maka seharusnya pemberi kerja harus tegas terhadap rekanan yang tidak komit terhadap janjinya," tegas Triono.
Adapun sanksi itu, selain penalti denda juga harus ada sanksi lainnya berupa pemutusan kontrak kerja. Itu sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
"Sebenarnya harus ada sanksi lainnya berupa blacklist yang harus diumumkan oleh pemerintah kepada publik secara luas," terang Triono.
Menurutnya, jika itu tidak dilakukan, dikhawatirkan akan menimbulkan preseden buruk dalam pelaksanaan proyek yang bersumber dari uang negara.
"Namun ketika itu tidak dilakukan, saya khawatir ada kerjasama antara pemberi kerja dengan pihak rekanan. Untuk itu maka seharusnya pemberi kerja harus tegas terhadap rekanan-rekanan yang tidak komitmen terhadap janjinya itu," pungkas Triono Hadi.
Reporter: Dodi Ferdian