Solo (HR)- Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mendukung wacana pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi. Hanya, dia meminta pemerintah tidak terlalu royal dalam memberikan potongan masa hukuman.
"Napi kasus korupsi itu memiliki hak yang sama dengan yang lain," kata Jimly saat ditemui di Universitas Sebelas Maret, Solo, Sabtu (14/3).
Menurut dia, negara harus mampu berbuat adil kepada semua narapidana, termasuk narapidana kasus korupsi, dalam pemberian remisi.
Dia beralasan, kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia sudah melebihi kapasitas. "Bahkan sudah ada yang isinya tiga kali dibanding daya tampungnya," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu. Kondisi itu membuat pemberian remisi menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kepadatan di dalam LP.
Selain itu, selama ini sistem hukum belum mampu membuktikan bahwa penjara mampu memberikan efek jera. "Yang ada justru rasa dendam," katanya. Dia juga sangat khawatir penjara justru menjadikan seorang narapidana semakin ahli dalam melakukan kejahatan.
Dia mengakui wacana pemberian remisi kepada koruptor ditentang berbagai kalangan masyarakat. Itu terjadi, kata dia, karena masyarakat belum sepenuhnya mengetahui kondisi LP saat ini. "Mungkin mereka juga belum pernah merasakan saat tulang punggung keluarganya ada di dalam penjara," katanya.
Namun Jimly juga mengakui selama ini negara terlalu berbaik hati dan sangat royal dalam memberikan remisi. "Setahun diberikan sebanyak dua kali," katanya. Remisi diberikan pada saat hari raya agama serta ulang tahun kemerdekaan.
Jimly menyarankan pemerintah mengurangi jadwal pemberian remisi kepada narapidana. "Cukup diberikan saat ulang tahun kemerdekaan," katanya. Dengan cara itu, dia yakin masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan pemberian remisi.(tic/rin)