PEKANBARU (HR)-Dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan Mastur alias Asun oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Rengat, Wiwin Sulistiya, dinilai telah mencederai rasa keadilan lingkungan bagi masyarakat.
Pasalnya, yang terkena jeratan hukum selama ini, kebanyakan berasal dari masyarakat kecil yang membakar lahan dalam jumlah kecil. Sementara untuk pelaku yang tergolong kelas kakap, seringkali berakhir dengan bebasnya tersangka. Seperti diketahui, Mastur alias Asun sebelumnya telah diamankan karena statusnya sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Penilaian itu dilontarkan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Muslim, Jumat (13/3). Dikatakannya, dengan peristiwa hukum pada kasus Asun, menunjukkan penegakan hukum khususnya karhutla, masih terkesan tebang pilih.
"Kita lihat bagaimana ratusan orang pelaku karhutla dari masyarakat kecil, sangat cepat prosesnya.
Ditangkap dan disidangkan. Sementara yang punya modal, bisa bebas. Hukum itu masih tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas," ujarnya.
Dengan demikian, kata Muslim, putusan Hakim PN Rengat, Wiwin Sulistya, dengan mengabulkan permohonan Asun tersebut, telah mencederai rasa keadilan bagi masyarakat terkait lingkungan.
Lebih lanjut, Muslim menekankan kalau dalam penanganan proses hukumnya kasus lingkungan itu harus disegerakan dan jangan ditunda-tunda. "Seperti kasus Asun ini, terjadi pada 2013 lalu. Tapi baru dinaikkan sekarang. Inikan berlarut-larut," tegas Muslim.
Selain itu, kebijakan Hakim Wiwin tersebut juga terpengaruhi dari kebijakan Hakim Sarpin Rizaldi, yang terlebih dahulu memenangkan proses praperadilan terkait status tersangka BG oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Putusan yang dibuat Sarpin itu memang mengubah peta hukum Indonesia. Sehingga orang-orang yang dijadikan tersangka tidak lagi melalui proses hukum yang mengedepankan pembuktian. Yang bisa dibantah dengan dengan adanya praperadilan," paparnya.
Untuk itu, kedepan Muslim mendesak adanya perbaikan dalam tatanan hukum. Menurutnya, penetapan tersangka tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Silahkan saja lihat KUHAP. Penetapan tersangka itu tidak bisa dipraperadilan," pungkasnya.
Sebelumnya Mastur alian Asun yang merupakan Dirut PT Kurnia Subur disangkakan pasal Karhutla. Setelah ditetapkan SP3 oleh Polres Indragiri Hulu (Inhu), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kemenhut-LH) kemudian melanjutkan kasusnya, dan menangkap Asun di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru tahun 2014 lalu.
Berdasarkan berkas tahun 2013 lalu di Mapolres Inhu, dari hasil pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti yang ada, belum ada yang memenuhi unsur kesengajaan.
Ketika itu hasil pemeriksaan Labfor juga tidak berhasil mengetahui titik awal asal mula api. Selain itu, penyidik juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau.
Sementara, total lahan Asun yang terbakar mencapai 40 hektare. Selain lahan milik perusahaan Asun, terdapat 10 hektare lahan milik masyarakat yang bersempadan dengan lahannya.
Seperti diketahui, Kemenhut-LH membuka kembali kasus tersebut setelah di-SP3 kan Polres Inhu. Dalam upayanya, Kemenhut-LH melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Rokorwas Bareskrim Mabes Polri tidak dapat melajutkan upaya hukum pengungkapan kasusnya.
Langkah Kemenhut-LH dan Rokorwas terhenti setelah Pengadilan Negeri (PN) Rengat mengabulkan gugatan praperadilan Asun. Dengan putusan tersebut, maka penetapan tersangka atasnya dicabut. Asun juga dibebaskan dari tahanan titipan di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru. (dod)