JAKARTA (HR)-Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, terus melemah dan akhirnya mengalami titik terparah sejak tahun 1998 lalu. Hingga Senin (15/12) sore kemarin, nilai tukar dolar Amerika Serikat menembus angka Rp12.705.
Ada beberapa sektor yang diperkirakan akan mengalami dampak akibat perkembangan itu.
Di antaranya harga jual barang-barang elektronik diprediksi bakal naik. Kondisi ini juga diperkirakan akan membuat aktivitas impor jadi berkurang.
Seperti dikutip dari data perdagangan Reuters, dolar AS memang sudah bergerak menguat sejak dibukanya perdagangan pagi kemarin. Awalnya, dolar AS dibuka di kisaran Rp12.600. Hingga pukul 16.00 WIB sore kemarin, dolar AS langsung menembus Rp12.705 setelah sebelumnya bergerak di kisaran Rp12.695 pada siang hari. Akibat penguatan dolar AS ini, rupiah menyentuh titik terendahnya sejak Agustus 1998 atau pasca krisis moneter (krismon) tahun 1998.
Diperkirakan Sementara
Terkait hal itu, Direktur Komunikasi Bank Indonesia, Peter Jacobs mengatakan, kondisi ini dipredikasi hanya berlangsung sementara. Menurutnya, ada ada empat faktor yang membuat kondisi itu terjadi. Yakni antisipasi rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pekan ini yang diprediksi bisa menaikkan tingkat suku bunga. Kedua, menguatnya ekonomi AS. Ketiga, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia yang masih tinggi, serta meningkatnya permintaan dolar AS di akhir tahun.
Sedangkan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, mengatakan, BI terus aktif di pasar valuta asing dan surat berharga negara (SBN) demi stabilisasi. "Mata uang negara lain juga melemah terutama yang punya problem inflasi dan CAD dan utang luar negeri swasta. Negara yang masih punya problem CAD dan inflasi serta utang luar negeri harus disiplin mengendalikannya," ujar Mirza.
Harga Naik
Terkait perubahan itu, harga barang-barang yang diimpor diperkirakan bakal naik. Salah satunya adalah produk elektronika.
Ketua Umum Electronic Marketeers Club AG, Rudyanto mengatakan, produsen barang elektronika siap-siap melakukan penyesuaian harga jika kondisi ini terus berlanjut. Pasalnya, elektronika termasuk salah satu sektor yang paling terdampak jika nilai tukar rupiah melemah.
"Biasanya kalau dolar naik, kita siap-siap naik harga. Itu sudah rumusnya. Barang elektronik itu banyak yang impor, bahkan yang diproduksi dalam negeri saja komponennya masih diimpor. Jadi ketergantungannya sangat tinggi," papar Rudyanto.
Dikatakan, tidak semua harga produk elektronika bakal naik menyusul dolar AS yang menguat. Dia mengatakan, ada 2 jenis produk yang diprediksikan harganya naik yaitu mesin cuci dan pendingin ruangan (Air Conditioner/AC).
Pasalnya, lanjut Rudyanto, permintaan terhadap 2 produk tersebut cukup tinggi sehingga ruang untuk menaikkan harga relatif terbuka. Sementara untuk televisi dan kulkas, permintaannya cenderung stagnan bahkan sedikit turun sehingga sulit untuk menaikkan harga.
"Kalau AC sama mesin cuci itu banyak ruangnya," ujar dia.
Rudyanto memperkirakan, kenaikan harga berkisar di angka 5%. Perkiraan itu berdasarkan hasil perhitungan kasar sejak dolar AS berada di level Rp 12.200 hingga kini menembus Rp 12.700.
"Itu masih kasar perhitungannya. Tapi kira-kira segitu," tuturnya.
Tak hanya itu, kondisi ini juga diprediksi akan membuat aktivitas impor jadi menurun. Sebab, importir diperkirakan akan menahan aksi belinya dari luar negeri.
"Ada baiknya juga. Barang impor menjadi lebih mahal, terutama produk jadi," lontar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat.
Dia mengatakan, dengan mahalnya produk barang jadi yang diimpor tersebut, setidaknya memberikan angin segar terhadap produk dalam negeri. Dengan demikian, kompetisi antara produk impor dengan barang lokal di pasar dalam negeri sedikit melonggar.
"Sehingga produk lokalnya bisa bertahan. Barang jadinya bisa bertahan," tutur Ade.
Namun, Ade mengakui bahwa pelemahan rupiah menyebabkan ekspor tekstil mengalami sedikit masalah. Harga produk Indonesia memang akan jadi lebih kompetitif karena pelemahan rupiah, tetapi ini juga bisa menjadi bumerang bagi pelaku usaha.
"Seolah-olah kita mendapat keuntungan. Si buyer jadi minta diskon terus, kan celaka kita. Padahal kita juga impor bahan baku," tutur Ade. (bbs, dtc, sis)