RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menonaktifkan empat kadernya karena dianggap tidak sejalan dengan sikap partai yang menolak penerapan perda syariah dan poligami.
Keempat kader tersebut adalah Caleg DPR RI Dapil Jawa Timur IX Husin Shahab, Caleg DPRD II Bone Nadir Amir, Ketua DPD PSI Kota Yuki Eka Bastian, serta Muhammad Ridwan, Caleg DPRD III Sulawesi Selatan.
Dalam keterangannya, Muhammad Ridwan menceritakan terkait penonaktifannya sebagai kader PSI. Menurut politikus yang juga menjabat sebagai Ketua DPD PSI Gowa itu, dirinya mengundurkan diri dari partai dan pencalegan karena tidak sejalan dengan sikap PSI yang menolak perda syariah dan poligami.
"Bukan dipecat, mengundurkan diri dari pencalegan dan Ketua DPD Kabupaten Goa. Iya, salah satunya, Perda Syariah itu dan sebagian besar persoalan internal," kata Ridho, sapaan akrab Muhammad Ridwan, Sabtu (22/12).
Menurut Ridho, agama tidak bisa dipisahkan dari sejarah besar Republik Indonesia. Karena itu, lanjut dia, setiap daerah juga punya kekhasannya tersendiri dan perda syariah muncul beririsan dengan budaya lokal. Baginya, PSI hanya melihat isu perda syariah dan poligami dari segi fakta sosialnya saja.
"Perda syariah, poligami misalnya, ini hanya melihat dari segi sosial bahwa ini murni fakta sosial yang terjadi. Tapi menurut saya kalau dikaitkan dengan teologi, agama, semakin kita seret ke ranah sosial semakin mengikut pula agama di situ karena agama tidak hanya mencakup persoalan individu tapi juga persoalan sosial," terang Ridwan.
Ia menuturkan, apa yang dilontarkan PSI terkait perda syariah dan poligami adalah kepentingan politik elektoral untuk membidik target suara pemilih.
"Tidak semua yang dilontarkan partai adalah murni substansial ada juga pertimbangan elektoral. Saya sih misalnya, memasang suatu framing, membangun positioning partai, partai ini mengeluarkan isu, ini targetnya siapa," tutur Ridho.
Meski begitu, ia mengaku tetap mendoakan dan PSI bisa lolos ke Senayan di Pileg 2019 mendatang.
"Saya hanya bisa mendoakan teman-teman di PSI itu tetap bisa berjuang lah agar ada representasi di parlemen nanti," ucapnya.
Ketika disinggung mengenai aturan partai yang melarang kadernya untuk poligami, Ridho mengklaim bahwa hal tersebut baru berlaku beberapa waktu belakangan.
"Saya bergabung di PSI tahun 2015. Saya melihat PSI ini belum ada sentuhan yang berkaitan dengan agama, kita cuma fokus bagaimana pemuda mendapatkan ruang politik termasuk kesetaraan gender, representasi perempuan bisa berimbang," jelasnya.
Dirinya mengaku tertarik bergabung dengan partai pimpinan Grace Natalie itu karena melihat satu hal yang baru yakni keterwakilan generasi muda dan perempuan di dunia politik. Namun belakangan, menurutnya, PSI malah bergeser ke isu-isu yang sensitif seperti agama.
"Tidak ada (aturan poligami), itu baru kemarin itu. Perda syariah juga baru kemarin. Yang kita komitmenkan itu partai misalnya pengurus tidak boleh diatas 40 tahun, komposisi pengurus itu kaum-kaum milenial 40 tahun kebawah, itu," pungkas Ridho.
Sebelumnya, Wasekjen PSI Satia Chandra Wiguna mengatakan, penonaktifan empat kadernya itu sebagai bentuk PSI konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya.
“Jika ada kader yang tidak sepakat dengan DNA (nilai dasar) PSI terpaksa kami harus melepas mereka. PSI sangat serius dalam menegakkan nilai-nilai kami sehingga terhitung hari ini DPP PSI menonaktifkan keempat kader tersebut, ” ujar Chandra dalam keterangan resminya, Jumat (21/12).