RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Komite I DPD RI meminta Kementerian Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberikan perhatian khusus untuk menyelesaikan Masalah grondkaart, Hak Penguasaan Lahan (HPL) dan tanah register yang banyak terjadi di daerah.
"Dari temuan kami di lapangan saat kunjungan kerja ke daerah-daerah, soal grondkaart, HPL dan tanah register merupakan sengketa pertanahan di daerah yang harus segera dibenahi," kata Wakil Ketua Komite I DPD RI Jacob Esau Komigi dalam Rapat Kerja Komite I DPD RI dengan Kementerian ATR/BPN dan BP Batam, Selasa (4/12/2018).
Bahkan ungkap Jacob, Ombudsman RI pernah mencatat ada 1.138 atau 14 persen aduan masyarakat terkait laporan pertanahan pada 2017 yang didominasi oleh masalah grondkaart, HPL dan tanah register.
Karena itu dia mendesak pemerintah melalui ATR/BPN melakukan pendataan, registrasi dan pemberian hak harus berdasarkan kepada Undang-Undang yang merupakan payung hukum tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan, dan secara teknis memperhatikan kondisi tanah atau lahan bersangkutan.
Jacob Esau Komigi menuturkan, Indonesia masih menggunakan konsep doemein verklaring yang diadopsi dalam UU Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi alasan negara untuk mengambil tanah-tanah yang dimiliki masyarakat umum tanpa menunjukan dokumen resmi kepemilikan.
Karena itu, tegas Jacob, terkait dengan konflik grondkaart dan HPL, Komite I DPD RI mendesak Kementerian ATR/BPN memberikan perhatian khusus terhadap konflik tersebut dengan berperan aktif memberikan solusi yang berkepastian hukum bagi masyarakat yang terdampak dengan melibatkan berbagai pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Grondkaart hasil dari sistem hukum kolonial, tidak dikenal didalam UU Pokok Agraria. Perbedaan penafsiran grondkaart antara pemerintah atau PT KAI dengan masyarakat sudah menimbulkan konflik masyarakat di berbagai daerah. DPD RI minta pemerintah tegas selesaikan masalah ini”, kata Jacob.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN, Arie Yuriwien mengatakan untuk lahan grondkaart, HPL dan Tanah Register yang telah dikuasai oleh masyarakat dan akan digunakan oleh instansi yang memiliki tanah berdasarkan grondkaart, HPL dan lahan register kini dapat diselesaikan dengan menggunakan Perpres nomor 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.
“Di Perpres itu sangat baik, ada penyelesaian dengan Gubernur dan ganti ruginya melalui appraisal. Lahan Register ini kan kewenangan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), mereka juga yang pertama kali mengeluarkan istilah lahan register. Bahkan lahan register belum didaftar ataupun dicatat dalam administrasi pertanahan yang menjadi kewenangan ATR/BPN”, urai Arie Yuriwien.
Dari pernyataan Arie terlihat Kementerian ATR/BPN dan Kementerian KLH masih berjalan sendiri – sendiri. “Komite I DPD RI meminta Kementerian ATR/BPN dan Kementerian KLH untuk rutin berkoordinasi, kalau perlu kami akan kirim surat kepada Presiden agar kedua kementerian ini tidak seperti tom and jerry yang setiap hari bertengkar terus”, tegas Jacob.
Pulau Batam
Dalam kesempatan tersebut, Kepala BP Batam, Lukito Dinarsyah Tuwo menjelaskan, seluruh tanah di Pulau Batam merupakan tanah dengan status HPL dan sebagian tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN) di Kememnterian Keuangan.
Lukito melanjutkan, tanah di atas HPL dapat digunakan sendiri oleh pemegang HPL dan dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga dengan status hak pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu penggunaan tertentu.
Namun Komite I DPD RI memandang bahwa selama ini kasus pertanahan di Batam cukup rumit karena sampai saat ini belum adanya publikasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh BP Batam dan Pemkot Batam.
BP Batam selama ini mengklaim sebagai lembaga yang otoritatif menguasai tanah Batam daalm bentuk Hak Pengelolaan (HPL). Sayangnya, hingga saat ini belum diselesaikan RTRW dan pendaftaran ke lembaga agraria yaitu Kementerian ATR/BPN.
Karena itu, Komite I meminta BP Batam meningkatkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah dalam rangka penyelesaian berbagai konflik pertanahan yang terjadi di Batam dengan tetap memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta tetap dalam koridor reforma agraria.
Reporter: Syafril Amir