RIAUMANDIRI.CO, MEDAN - Wakil Ketua DPD RI, Prof Darmayanti Lubis menyebutkan, persoalan tanaga honorer di tanah air sudah sangat lama berlangsung. Bahkan honorer ini, ada yang bekerja sudah 15 hingga 20 tahun. Sepanjang waktu tersebut, sudah banyak kebijakan yang dijanjikan.
"Para honorer ini berharap menjadi PNS. Di tahun 2005, mereka juga sudah didata dan diikutkan test untuk CPNS. Lulus tapi sedikit. Sisanya saja sekarang sudah 439 ribu di Forum K2. Tapi jika ditotal semua bisa mencapai 1 juta,” kata Darmayanti dalam silaturahmi dan diskusi bertajuk ‘Upaya Mencari Solusi Penyelesaian Honorer yang Sejahtera’, di Meda, Sabtu (3/11) pekan lalu.
Lambatnya penyelesaian masalah honorer ujarnya, salah satunya disebabkan tidak ada data yang valid antara Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) mapun Badan Kepegawaain Daerah (BKD) dan pemerintah daerah juga.
“Tahun lalu kita sudah mengundang Manpan RB untuk bicara langsung, intinya mereka meminta waktu, karena masih melakukan pendataan,” ujar Prof Darmayanti yang menilai penyelesaian persoalan lambat tidak terlepas dari politikal will dari pengambil kebijakan di negara ini.
Sekalipun pemerintah memiliki keingian menyelesaikan masalah tersebut, namun dengan data yang dimiliki lembaga terkait dia mengaku pesimis akan tuntas. “Karena mereka juga tidak memiliki data yang valid,” ujarnya.
Selain itu sambungnya, persoalan honorer kembali memuncak di tahun 2017 dengan keluar UU No 5 tentang Aparatur Sipil Negara (AS) yang salah satu di dalamnya tentang penerimaan PNS dibatasi pada usia 35 tahun. Karenanya, UU ASN bakal dilakukan revisi dengan memasukkan batas 35 tahun atau dikasilah mereka kebijakan affirmative action.
“Kalau diamati ada kesalahan, harusnya di UU ini ada peralihan. Di situlah honorer itu dalam posisi tidak terpayungi secara hukum. Dia lepas dari payung hukum,” ujarnya.
Padahal sambungnya, masa baktinya sudah ada yang 15 hingga 20 tahun. “Kan rasanya jadi tidak masuk diakal, tidak pantas jika tidak kita bela. Jadi sekarang, pemerintah memberikan beberapa solusi. Tapi itu pun lari dari harapan honorer ,” ujarnya.
Memang sebutnya, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satunya dengan mengeluarkan Pengangkatan Pegawai dengan Perjanjian Kerja (P3K), namun langkah itu dinilai belum memberikan solusi atas tuntutan honorer yang berharap diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Kenapa dia mengeluarkan sesuatu tapi tidak memberikan solusi. PNS tidak boleh, revisi UU bakal lama. P3K juga tidak memberikan kepastian bagi honorer. Bahkan kebijakan P3K ini juga belum memiliki regulasi yang jelas," ujarnya.
Darmayanti pun mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer. “Sebenarnya kita marah. Ini berarti tidak benar-benar mencari solusi. Kita baca ini akan diproses. Akan-akan nasib orang, sudah 15 tahun,”ujarnya.
Meski begitu Prof Darmayanti pun menyerahkan keputusan kepada tenaga honorer. “Kita tidak mendesak, sekarang kita serahkan ke honorer mau ambil sikap yang mana,” ujarnya. Dia pun mengingatkan agar honorer bersikap tegas.
“P3K solusi terakhir, kalau tidak diangkat jadi PNS. Karena mereka bukan pencari kerja, karena sudah mengabdi bertahun-tahun,” imbuhnya, sehingga wajar jika honorer ingin tahu seperti apa nasib mereka.
Darmayanti pun mencium aroma jika pemerintah pusat akan melemparkan persoalan ini ke pemerintah daerah. “Kelihatanya, pusat mau melempar ke daerah. Karena yang menerima honorer ini juga daerah,” ujarnya yang mengaku pesimis jika masalah tersebut akan selesai dalam satu tahun.
Koordinator Wilayah Forum Honorer Indonesia (FHI) Sumut, Andi Surbakti menyebutkan kegiatan yang digelar ini, sebagai upaya untuk memberikan masukan bagi pengambil kebijakan.
“Kita memang mengundang semua komponen terkait peningkatan kesejahteraan honorer, guru dan tenaga kependidikan. Kita berharap diskusi dan silaturrahmi ini dapat memberikan warna bagi pengambil kebijakan,” ujarnya dan berharap para pengambil kebijakan tergugah hatinya.
Reporter: Syafril Amir