RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah teruji dalam kebhinnekaan. Hal tersebut terbukti sejak para pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga saat ini.
Demikian dikemukakan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dalam dalam diskusi bertema ‘Kebhinekaan Dalam Bingkai NKRI’ di Media Center Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (2/11/2018). Pembicara lainnya Ketua Fraksi PPP MPR RI Arwani Thomafi dan pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe.
Dipaparkan Hidayat, kebhinekaan itu sudah diperlihatkan para founding fathers, khusus Panitia Sembilan ketika membahas Undang Undang Dasar yang kemudian menyepakati bentuk negara adalah Negara kesatuan Republik Indonesia.
"Beliau -beliau ini adalah tokoh yang berlatar belakang yang sangat beragam. Ada dari partai politik, non partai, ada Islam ada yang non Islam, serta dengan suku yang beragam, ada yang Jawa ada di luar Jawa. Sangat terbacanya, adanya penerimaan terhadap Bhinneka Tunggal Ika dalam kesepakatan NKRI," jelas Hidayat.
Dalam perkembangannya, jelas Hdayat, NKRI itu pernah mengalami ujian yang sangat serius. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan dan disahkan UUD, yaitu September 1945, Indonesia gonjang-ganjing oleh serangan Belanda.
Kemudian berlanjut dengan Perjanjian Linggarjati yang isinya Belanda hanya mengakui wilayah Indonesia yang terdiri dari Sumatera Jawa dan Madura. Bahkan Belanda mewacanakan akan dibentuk adalah Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan NKRI.
NKRI semakin digoyang dengan pemberontakan PKI di Madiun yang membuat Republik Soviet Indonesia, di Jawa Barat Kartosuwiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia.
"NKRI semakin hilang, bahkan dalam Konferensi Meja Bundar disepakati Indonesia bukanlah NKRI yang ada RIS. Lagi-lagi para founding fathers kita memberikan keteladanan yang luar biasa untuk tetap menuju pada NKRI dengan munculnya sosok M. Natsir," jelas.
Nasir tokoh dari partai Masyumi, saat itu satu-satunya partai Islam bagi seluruh umat Islam berkomunikasi dengan dengan tokoh dari partai katolik untuk kemudian menolak yang namanya RIS yang mencabik-cabik bangsa ini dan keluar dari cita-cita Indonesia merdeka.
"Jadi mereka tidak lagi melihat ini latar belakang, agama dan partai suku. Merekja bersatu padu menyelamatkan NKRI. Saya kira ini beberapa fakta sejarah. Sekarang bagaimana masa depan NKRI dalam penerimaan ke kebhinnekaan. Bagaimana Bhinneka Tunggal Ika ini tetap menjadi bagian dari mengokoh-kuatkan NKRI," jelasnya.
Kuatnya NKRI dalam bingkai kebhinnekaan harus terus dijaga. Hidayat mencontohkan dua negara besar yang maju secara ekonomi bubar setelah pendiri bangsanya meninggal, yaitu Uni Soviet dan Yugoslavia. Pada hal di kedua negara itu latar belakang suku dan agamanya tidak sebanyak Indonesia.
"Ini menjadi tanggung jawab kita semua bagaimmana terus menerus terjaga. Tentu di situ ada peran dari pada negara, baik dalam konteks eksekutif dan legislatif, bagaiana tetap menghadirkan prilaku politik, kebijakan politik, regulasi politik yang justru tetap menguatkan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Jadi NKRI tanpa Bhinneka Tunggal Ika tidak mungkin dan sebaliknya juga demikian," jelas Hidayat Nur Wahid.
Sedangkan Arwani Thomafi menilahat kebhinnekaan itu dalam penyelenggaraan pemilu sebagai pesta demokrasi. Pemilu harus dinikmati bersama dalam sebuah arti yang lebih luas, pilihan menjadi sebuah keragaman, punya pilihan yang berbeda.
"Praktik dalam berdemokrasi itu bagian dari bukti nyata bahwa kita ini sudah mempraktekkan apa yang disebut kebhinnekaan. Bukan sekedar komitmen, misalnya pesta demokrasi. Pemilu itu jangan dirusak oleh praktek-praktek perilaku politik yang justru merusak komitmen kebhinnekaan dalam bingkai NKRI," kata Arwani.
Reporter: Syafril Amir