Oleh: Romes Irawan Putra
RIAUMANDIRI.CO - Halimun tipis menutupi permukaan Danau Naga Sakti pada pagi buta dan senja. Luasnya sekitar 300 hektare dan dikelilingi hutan rawa gambut dan kebun sawit serta akasia.
Air danau gambut ini jernih. Tak satu pun yang tahu berapa dalamnya. Pemerintah Siak pernah ingin memanfaatkan air danau Naga Sakti sebagai sumber air bersih. Namun gagal lantaran air tidak bisa disedot.
Mesin pun rusak, warga meyakini ada kekuatan mistis yang menahan air, ada seekor naga yang berdiam di dalam danau. Legenda itulah yang membuat orang tidak ada yang berani datang ke danau sendirian atau berlama-lama.
Mereka pun takut mencari ikan. Tapi itu dulu, dua tahun terakhir, Danau Naga Sakti justru ramai dikunjungi. Tidak lagi seangker nama dan legendanya, beberapa pondok apung dibangun, fasilitas foto pajang diri disediakan.
Pengunjung ramai, warga pun berjualan. Wisata ini mendatangkan keuntungan ekonomi. Kisah sukses transformasi keangkeran Danau Naga Sakti menjadi destinasi wisata baru boleh diakui sebagai buah kerja tangan dingin Sang Bupati, Syamsuar.
Siak didirikan pada 1999 setelah pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, dan sejak itulah pemerintahnya mulai menata pembangunan. Jalanan Kota Siak kini tertata rapi, pohon-pohon tumbuh subur terangkai satu dengan lainnya ditambah dengan kemegahan Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah seolah menyambut ramah setiap tamu yang datang.
Siak kini jadi destinasi wisata budaya dengan Istana Siak dan hikayat kerajaan melayunya sekaligus dengan suasana “hijau” yang didesain pemerintahnya. Transformasi ini bukanlah pekerjaan mudah. Butuh komitmen dan kerja keras semua pihak terutama warga. Termasuk kolaborasi dengan pihak luar.
Tiga tahun terakhir Siak berkolaborasi dengan belasan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal hingga internasional. Kolaborasi itu menghasilkan predikat prestisius bagi Siak yakni Kabupaten Hijau.
Pada tahun 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya menyematkan Siak menjadi Kabupaten Hijau. Dalam konsep Kabupaten Hijaunya, Pemerintah Siak mendefinisikannya sebagai kabupaten yang mendorong prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Karena konsep “hijau”nya itu juga, Siak merupakan kabupaten satu-satunya yang meraih piala adipura dua tahun berturut-turut 2016 dan 2017. Bagaimana dengan Riau Hijau? Beberapa bulan mendatang, Syamsuar akan dilantik jadi Gubernur Riau. Dengan keberhasilannya di Siak, muncul pertanyaan sekaligus harapan apakah Syamsuar juga mampu mengarahkan pembangunan Riau menjadi lebih hijau di masa kepemimpinannya nanti?
Meski Syamsuar punya rekam jejak cukup menonjol di sisi perlindungan lingkungan di kabupaten, namun Riau punya banyak masalah dalam lingkungan, baik hutan, sungai maupun pesisir. Riau terkenal karena kebakaran hutan gambut tahunan dan korupsi akut. Dalam Visi-Misi dan program prioritas saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Riau, Syamsuar sudah mengakui adanya tantangan besar ini. Namun tentu saja perlu penjelasan lebih detail dari sekadar itu.
Soal kebakaran hutan, Riau menyumbang asap racun sejak 1997 hingga Agustus 2018 ini. Kawasan hutan dan gambut pun bersalin rupa menjadi perkebunan sawit dan akasia. Gambut alami nan basah pun jadi kering dan rentan terbakar.
Bagi Pemerintah Riau, perubahan ini dipandang sebagai arus investasi yang akan mendorong kemakmuran rakyat. Namun jika dikomparasi dengan kerugian yang dihasilkan dari gelombang investasi berbasis lahan ini, sepertinya investasi itu menjadi kurang bernilai.
Pada tahun 2013 misalkan, nilai kerugian akibat kebakaran hutan gambut mencapai Rp20 triliun. Sementara bencana terbesar terakhir tahun 2015 nilai kerugiannya mencapai Rp 220 triliun untuk Indonesia yang tentu saja Riau menyumbang nilai cukup besar.
Sementara Pendapatan Asli Daerah Riau 2015 sebesar Rp.3,4 triliun dan Rp.7,4 triliun pendapatan setelah dana perimbangan dan lainnya. Sedangkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Riau Rp.11,387 triliun. Angka ini tentu saja tidak sebanding dengan kerugian dari karhutla pada tahun yang sama.
Nilai itu tidak termasuk besarnya kerusakan di wilayah pesisir akibat pencemaran di sungai-sungai Riau. Sungai Siak dulunya terkenal sebagai urat nadi ekonomi Riau dan sebagai sungai terdalam di Indonesia. Kini sungai ini tercemar dan mendekati ketercemarannya Sungai Citarum di Jawa Barat. Ini sudah diperingatkan Menteri Koordinator Maritim pada akhir 2017 lalu.
Ahli Lingkungan Universitas Riau, Tengku Ariful Amri dalam wawancara Riau Pos tahun 2016 lalu telah mengkonfirmasi pencemaran logam berat. Pun pendangkalan sungai siak sekitar 70 sentimeter per tahun yang kini hanya tinggal belasan meter. Soal korupsi juga sama akutnya dengan masalah lingkungan.
Ironinya, korupsi di Riau terkait dengan perizinan di sektor kehutanan dan perkebunan. Bahkan dua gubernur Riau terakhir terjerat hukum pemberian izin dan gratifikasi revisi tata ruang.
Tantangan ini harus dijawab Syamsuar melalui program ambisius dan konsisten. Syamsuar punya modal kuat untuk mempercepat mewujudkan Riau Hijau dan menyelesaikan banyak persoalan lingkungan. Kondisi kebakaran hutan pada periode Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman dua tahun terakhir bisa dibilang cukup “berhasil” melokalisir sebaran api.
Tapi tentu saja masalahnya pada pemadaman. Harus ada program pencegahan sebelum api terpercik. Satu akar masalah yang tentu saja (seharusnya) sudah dipahami Syamsuar adalah pengeringan gambut melalui kanalisasi yang dibangun perusahaan dan pengusaha besar.
Syamsuar bisa mempercepat pemulihannya, sebab pemerintah pusat punya banyak instrumen hukum maupun struktur yang memang ditugaskan untuk ini yakni Badan Restorasi Gambut. Meski pun ada yang perlu dicatat dari realisasi rencana restorasi BRG ini di lapangan.
Hal berikutnya adalah penegakan hukum dari kasus kebakaran hutan yang sekarang masih rendah. Banyak upaya penegakan hukum lingkungan kandas di tengah jalan, baik itu di tangan kepolisian maupun di kejaksaan dan pengadilan. Perlu usaha keras mengurai kesemberautan di bidang hukum.
Mampukah Syamsuar dan Edy Nasution menyelesaikannya? Atau setidaknya memperlihatkan upaya konkrit menguraikannya kalau pun ini dinilai terlalu akut untuk diselesaikan dalam lima tahun kepemimpinan mereka. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Direktur Kaliptra Andalas dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau