Oleh: Dr Irvandi Gustari
Direktur Utama Bank Riau Kepri
RIAUMANDIRI.CO - Boleh saja ada yang tidak setuju, namun dengan gaya Trump yang ingin menguasai dunia melalui strategi perang dagang, rasanya kejadian ini mirip dengan gaya Hitler yang juga ingin menguasai dunia sebelum perang dunia ke dua. Bedanya hanya beda cara atau bisa kita sebut beda bungkusnya saja.
Jika Hitler menguasai dunia lewat perang militer yang kejam, sementara Trump juga tanpa kompromi, arogan tanpa rasa, menghajar negara-negara lain yang dia rasakan selama ini telah menikmati perdagangan secara tidak berimbang dengan Amerika Serikat. Tujuan akhirnya ya sama, atau sebelas – duabelas, yaitu ingin menguasai dunia tanpa kompromi.
Kita ungkap secara singkat, siapa Hitler? Hitler pemimpin Jerman dan lahir pada 20 April 1889, sebuah kota kecil di Austria. Sebagai pemimpin Jerman, di Eropa hanya Inggris yang belum bisa ditundukkannya dan sedangkan Rusia, nyaris dikuasainya. Hobinya memang perang dan tekadnya memang ingin menguasai dunia. Hitler bertanggung jawab atas pembunuhan 11 juta orang, termasuk pembunuhan massal terhadap 6 juta orang Yahudi. Adolf Hitler, sang Fuhrer atau pemimpin partai Nazi di Jerman pada 1934 hingga 1945, memulai kebijakan fasisme sehingga menyulut Perang Dunia II.
Berlin jatuh pada 2 Mei 1945. Lima hari kemudian, pada 7 Mei 1945, Jerman menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kekalahan Hitler menandai berakhirnya dominasi Jerman dalam sejarah Eropa dan kekalahan fasisme.
Walaupun Hitler adalah tokoh utama sebagai penyulut perang dunia kedua, namun sepak terjangnya yang tidak ada kompromi menghantam negara-negara yang ingin dikuasainya, saat ini menjadi cerita fenomenal tersendiri.
Sekarang ini kita dikejutkan dengan adanya perang dagang yang dicetuskan oleh Trump Presiden AS. Trump sebenarnya memiliki kepribadian majemuk, dan tidak sebatas kepribadian ganda saja, karena sulit menebak gaya kepemimpinan Trump ini. Rasanya tidak ada teori leadership yang cocok untuk meneliti Trump, bila dikaitkan dengan gaya kepemimpinan Trump ini.
Memang China yang jadi korban utama dalam perang dagang yang diluncurkan oleh Trump, telah terjadi saling balas membalas aturan . Misalnya Presiden AS Donald Trump telah memerintahkan penerapan tarif impor terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar (Rp 2.978 triliun) dan China membalas dengan membebankan bea masuk terhadap produk AS senilai US$60 miliar.
Oleh banyak para pengamat ekonomi dan politik disebutkan bahwa yang mendorong Trump adalah keinginannya tampil gagah dan perkasa atau superior, bahkan dalam menghadapi peringatan yang mengerikan dan kejatuhan politik. Tetapi ia juga membiarkan perpecahan internal bertahan dan dengan gaya manajemen konflik yang memanas yang lebih disukainya. Dan ingat, bahwa Trump suka sekali menawarkan wilayah negosiasi yang tidak pasti .
Ya memang Trump sedang mengalami tekanan politik di dalam negerinya yaitu tentang kemenangannnya menduduki posisi Presiden, dan banyak bukti dugaan peretasan yang dibantu Rusia saat pemilu Presiden berlangsung di akhir 2016 lalu. Sangat mungkin Trump akan menghadapi resiko yang paling tinggi yaitu impeachment.
Dari berbagai berita, Trump mengkalim dirinya tidak dapat di-impeach karena "prestasi besar" yang telah diraihnya. Selama ini yang kita amati bahwa sangat tabu bila seorang presiden Amerika Serikat yang berbicara soal potensi pelengserannya.
Diduga pernyataan reaktif Trump lebih bertujuan untuk memprovokasi opini publik soal terancamnya keberhasilan ekonomi yang telah dicapai pemerintahannya. Namun ingat bahwa Amerika Serikat sebagai negara adi daya dengan paham liberalismenya, sudah bisa ditebak memiliki rencana ingin menguasai dunia melalui perekonomian.
Ya memang saat ini, untuk menguasai suatu negara, tidak perlu lagi pakai senjata alat berat peperangan, dan sangat mungkin menumbangkan suatu negara melalui strategi dagang, dan itupun akan lebih cepat terwujud bila dilengkapi dengan perang cyber.