RIAUMANDIRI.CO, YOGYAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Mahyudin mengatakan, demokrasi Indonesia masih berbiaya mahal. Hal itu menyebabkan tidak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus hukum korupsi.
"Sekarang demokrasi kita itu demokrasi berbiaya mahal. Kalau dikaitkan ada hubungan dengan banyak kepala daerah yang berurusan dengan hukum karena korupsi," kata Mahyudin saat membuka Press Gathering Pimpinan MPR bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen, di Yogyakarta, Jumat (19/10/2018) malam.
Pembukaan press gathering itu dihadiri Sri Sultan Hamengkubuwono X, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani, Ketua Fraksi PPP MPR Arwani Thomafi, Ketua Fraksi Gerindra MPR Fary Djemi Francis, Sekretaris Fraksi Demokrat MPR Ayub Khan, Ketua Fraksi Hanura MPR Capt Jhoni Rolindrawan, Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono dan jajaran, serta para wartawan yang sehari-hari meliput di lingkungan MPR, DPR dan DPD.
Mahyudin sepakat dengan Sri Sultan bahwa idealnya setiap negara harus memiliki demokrasi tersendiri. "Demokrasi kita sesuai dengan kultur kita, dan keadaan bangsa kita," ungkapnya.
Mahyudin mengatakan, demokrasi langsung tidak bisa berjalan efektif ketika rakyat masih banyak yang miskin. Seharusnya, ujar dia, demokrasi itu seperti mau bermain sepak bola. Lapangannya bagus. Aturan sudah siap. Barulah permainan dimulai. Namun, tidak di Indonesia.
"Ketika mau main, keluar aturan baru. Salah satunya saya dan Pak OSO (Oesman Sapta Odang) pimpinan MPR menjadi korban," kata Mahyudin yang pada Pileg 2019 nanti mencalonkan diri menjadi anggota DPD itu.
Menurut Mahyudin, sebelumnya tidak ada aturan melarang anggota partai politik menjadi calon anggota DPD. Setelah tahapan pemilu berjalan, dan pendaftaran sebagai caleg sudah dilakukan, kemudian aturan baru keluar lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya sudah daftar, tiba-tiba keluar putusan MK. Seharusnya peraturan tidak boleh dikeluarkan di tengah jalan. Ini kacau, harusnya sebelum pertandingan," ungkap Mahyudin.
Akhirnya, Mahyudin membuat surat pengunduran diri dari kepengurusan Partai Golkar. "Nah, Pak OSO jadi ketua umum (Partai Hanura) sudah mundur, akhirnya saya dengan dia dicoret. Jadi demokrasi kita ini lapangan becek, rule belum jelas," ungkap Mahyudin.
Reporter: Surya Irawan