Mencari Akar Begal

Rabu, 11 Maret 2015 - 10:34 WIB
ILUSTRASI

Bangsa ini tak putus-putusnya didera masalah. Belum usai polemik  politik dan hukum terkait KPK-Polri, kemudian muncul pula masalah di bidang ekonomi, yakni melambungnya harga beras dan rontoknya harga rupiah di hadapan dolar amerika. Kini, merambah lagi ke persoalan keamanan, yaitu fenomena begal.

Kata begal sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sama dengan penyamun. Kata-kata ini familiar kita dengar dalam cerita dunia persilatan dan terjadi pada masa silam. Di mana hukum bermanifestasi dalam bentuk fisik. Artinya siapa yang memiliki kekuatan fisik dialah yang menentukan hukum, atau apa yang kita kenal dengan hukum rimba.

Kini, begal atau penyamun muncul dalam masyarakat modern yang telah  memiliki aturan hukum. Kehadiran mereka telah meresahkan masyarakat dan tindakan-tindakannya seakan menyiratkan tidak takutnya mereka kepada hukum. Merampas, menganiaya dan menghilangkan nyawa sudah menjadi “protap” kelompok ini. Bagi mereka kekuatan adalah hukum. Apa sesungguhya yang terjadi pada bangsa ini?  Benarkah ini hanya persoalan segelintir masyarakat yang mencari jati­diri? Ataukah tidak berdayanya hukum dalam menjaga keamanan masyarakat? Atau, jangan-jangan ini persoalan peradaban bangsa yang kian hari kian terkikis dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Mencermati dari realitas sosial yang terjadi, setidaknya ada beberapa akar yang menyebabkan begal tumbuh dan berkembang pada bangsa ini.

Pertama, disfungsi keluarga. Sebagai wadah tempat tumbuhnya generasi bangsa terkadang keluarga tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal. Artinya keluarga tidak menjadi rumah yang nyaman bagi cikal bakal anak bangsa, sehingga anak-anak banyak  mencari tempat berteduh lain, yang dalam kacamata mereka baik untuk mereka. Dan di tempat inilah nilai-nilai kehidupan mereka temukan dan anut. Bagi mereka nilai-nilai tersebut menjadi identitas dan cara hidup mereka. Maka tak ayal nilai-nilai yang mereka anut seperti kekerasan, mengambil dan merampas hak orang lain menjadi biasa dan telah menjadi  bagian dari perjuangan hidup mereka.

Kedua, masalah ekonomi. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan  memunculkan berbagai usaha dalam pemenuhannya. Usaha tersebut tidak lagi merujuk legalitas formalnya, apalagi halal-haramnya. Bagi mereka tolok ukurnya adalah terpenuhi kebutuhan. Apalagi kebutuhan hidup pada era konsumerisme ini tidak hanya memandang kebutuhan dasar sebagai primer, tapi sekunderpun dilihat primer. Alhasil, melakukan kejahatan adalah menjadi pilihan instan di tengah sulitnya pilihan lain.

Ketiga, kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam merubah karakter masyarakat. Pendidikan selama ini orientasinya hanya pada peningkatan kecerdasan intelektual. Sehingga kecerdasan emosional dan spritual tidak mendapat tempat yang normal dalam dunia pendidikan kita. Akhirnya lahirlah anak-anak yang cerdas dalam akademik tapi lemah dalam moralitas. Seperti pergaulan bebas, penggunaan narkoba serta tawuran-tawuran antar pelajar Keempat, dekadensi moral. Kondisi ini lahir karena nilai-nilai agama, adat dan nilai baik lainnya tidak lagi menjadi referensi utama dalam bersikap. Artinya nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi tuntunan telah mengalami pergeseran nilai. Hal ini disebabkan begitu dominannya budaya materialisme dalam masyarakat era kekinian.

Materi  telah menjadi nilai utama dalam menempatkan strata sosial seseorang. Bahkan, materi penjadi penyumbang utama dalam menilai baiknya laku seseorang. Sehingga nilai ini sudah berpotensi menjadi budaya baru, hal ini terlihat dari ungkapan” dengan uang se­muanya bisa dibeli”. Realitas ini tergambar dalam kehidu­pan saat ini, di mana materi memiliki daya magis yang sangat mumpuni.  Syah dan untuk menjadi pemimpin pun harus menggelontorkan uang. Dan sadar atau tidak kondisi ini  juga berkelit kelindan dengan masyarakat yang rela “menjual” suaranya dengan lembaran-lembaran kertas yang hanya bernilai puluhan ribu untuk memilih pemimpin.

Kelima, pengaruh tontonan melalui media. Informasi yang ditayangkan media memberikan pengaruh besar dalam merubah paradigma berpikir masyarakat. Tayangan-tayangan kekerasan dan gaya hidup dengan hedonisme yang dipublikasikan secara masif berimplikasi terhadap pola pikir masyarakat. Mereka disodorkan tontonan kemewahan sementara mereka hidup dalam penderitaan. Yang pada akhirnya memicu fantasi mereka untuk memenuhi kebutuhan seperti yang dalam tontonan, tapi tidak bisa dipenuhi karena terbentur tembok tebal nan tinggi ( baca: kehidupan nyata). Dan akhirnya dorongan fantasi tersebut memunculkan cara-cara kekerasan dalam pemenuhannya.

Menilik kondisi di atas sesungguhnya menjadi pekerjaan penting bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan akar begal. Menjadi begal bukan pilihan, tapi terkadang akibat realitas kehidupan dan akumulasi persoalan yang tidak menemukan solusi atau jalan keluarnya.

Selama ini banyak masalah dan gejala-gejala sosial yang muncul disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyat. Rakyat seakan dibiarkan hidup sendiri tanpa ada perhatian pemerintah, seperti kurangnya lapangan pekerjaan. Hal ini terlihat bagaimana rakyat berinisiatif sendiri untuk  mencari pekerjaan dengan menjadi TKI di luar negeri. Berjuang mencari kehidupan walau terkadang mendapat perlakuan yang tidak baik. Belum lagi masalah-masalah kebuntuan sosial lainnya yang tidak mendapatkan saluran komunikasi yang baik dalam komunitasnya. Apalagi budaya materialisme telah membentuk masyarakat yang acuh terhadap orang lain dan lingkungannya.

Oleh karena itu, mencari akar begal sesungguhnya memantik kesadaran kita sebagai anak bangsa untuk memiliki  kepedulian terhadap sesama anak bangsa yang lain dalam makna yang sebenarnya, serta menyadarkan kita agar nilai-nilai luhur bangsa kembali menjadi jatidiri bangsa Indonesia. Karena dengan sikap dan nilai inilah kita akan memotong akar begal, bukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi seperti memukul, membakar dan membunuhnya. Dan  menjadi pesan penting untuk pemerintah , agar ke depan negara  benar-benar hadir dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Artinya negara hadir dalam memberi dan menjaga keamanan rakyat serta menyejahterakannya. Wallahu’alam.***

Mahasiswa Program Doktoral UIN Suska Riau.

Editor:

Terkini

Terpopuler