RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Para ilmuwan dunia menyatakan kekagetan atas dahsyatnya terjangan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Mereka menilai gempa yang mengguncang Donggala, Sulteng diperkirakan tidak memicu gelombang menghancurkan seperti yang terjadi di Palu pada Jumat (28/9) lalu.
"Kami memperkirakan gempa itu mungkin memicu tsunami, tapi tidak sebesar itu," sebut Jason Patton yang merupakan pakar geofisika yang bekerja untuk perusahaan konsultan Temblor dan mengajar pada Humboldt State University di California, Amerika Serikat (AS).
"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kita biasanya mendapati hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya," imbuh Patton seperti dilansir New York Times, Senin (1/10/2018).
Gempa bumi berkekuatan 7,4 Magnitudo yang mengguncang Donggala pada Jumat (28/9) sore, diketahui berpusat di titik 80 kilometer sebelah utara Palu. Sesaat setelah itu -- sekitar 30 menit kemudian -- gelombang air laut hingga setinggi 5 meter menerjang Palu, menghancurkan gedung, menyapu kendaraan dan menewaskan ratusan orang.
Diketahui bahwa tsunami menghancurkan seringkali disebabkan oleh gempa megathrust ketika sesar Bumi yang berukuran besar melakukan penyesuaian dengan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan Bumi. Dalam peristiwa ini biasanya sejumlah besar air laut akan terdorong, memicu gelombang yang bisa bergerak dalam kecepatan tinggi dan memicu kehancuran di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa.
Tsunami dahsyat di Samudera Hindia tahun 2004 lalu, yang memicu tsunami hingga setinggi 30 meter dan menewaskan nyaris seperempat juta orang mulai dari di Indonesia hingga Afrika Selatan, dipicu oleh gempa megathrust berkekuatan 9,1 Magnitudo di Sumatra.
Bertolak belakang dengan tahun 2004, patahan yang pecah pada Jumat (28/9) lalu disebut patahan strike-slip. Pergerakan patahan Bumi kebanyakan horisontal dan pergerakan semacam itu biasanya tidak memicu tsunami. Namun dalam situasi tertentu, sebut Dr Patton, tsunami bisa terjadi.
Patahan strike-slip bisa memicu sejumlah pergerakan vertikal yang bisa memindahkan sejumlah besar air laut. Atau zona pecahnya patahan Bumi, dalam kasus ini yang diperkirakan mencapai panjang 112 kilometer, melewati area di mana dasar laut bergerak naik atau turun, jadi ketika patahan bergerak saat gempa melanda, itu memindahkan sejumlah besar air laut ke depannya.
Kemungkinan lainnya adalah tsunami terbentuk secara tidak langsung. Guncangan keras saat gempa mungkin telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut yang akan memindahkan air laut dan memicu gelombang besar. Peristiwa semacam ini bukannya tidak biasa, karena pernah terjadi saat gempa 9,2 Magnitudo mengguncang Alaska tahun 1964 silam.
Dr Patton menyebut, kombinasi berbagai faktor mungkin bisa berkontribusi pada sebuah tsunami. Kajian terhadap dasar lautan menjadi krusial dalam upaya memahami terjadinya sebuah tsunami. "Kita tidak akan tahu apa yang menyebabkannya hingga peristiwa itu selesai," ucapnya.
Tsunami juga disebabkan oleh lokasi kota Palu yang ada di ujung teluk dangkal. Garis pantai dan bentuk dasar teluk bisa saja memfokuskan energi gelombang laut dan mengarahkannya ke teluk, dengan ketinggian semakin meningkat saat semakin mendekati pantai. Efek semacam itu pernah terjadi sebelumnya di Crescent City, California, AS yang pernah diterjang lebih dari 30 tsunami.
Para pakar tsunami mengatakan, banyaknya jumlah korban tewas mencerminkan kurangnya sistem canggih untuk mendeteksi dan peringatan tsunami di Indonesia.
Saat ini Indonesia diketahui hanya menggunakan seismograf, perlengkapan GPS (global positioning system) dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami. Profesor pada University of Pittsburgh, Louise Comfort, menyebut peralatan itu memiliki efektivitas yang sangat terbatas. Comfort saat ini sedang terlibat proyek untuk membawa sensor tsunami di Indonesia.
AS sendiri memiliki 39 jaringan sensor canggih di dasar lautan yang bisa mendeteksi perubahan tekanan sekecil apapun yang mengindikasikan kemunculan sebuah tsunami. Data-data dari sensor itu akan disampaikan via satelit dan dianalisis, untuk kemudian peringatan akan dirilis jika diperlukan.
Dr Comfort menyatakan Indonesia memiliki 22 jaringan sensor serupa namun kebanyakan tidak lagi digunakan karena tidak dirawat atau dicuri pihak tak bertanggung jawab. Proyek yang sedang dikerjakan Dr Comfort akan membawa sistem baru ke Indonesia, yang nantinya akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan buoy di permukaan laut yang bisa dicuri atau tertabrak kapal.
Dituturkan Dr Comfort, dirinya sedang membahas proyek ini bersama tiga badan pemerintahan Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem itu di Sumatera tertunda bulan ini. "Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama. Ini menyayat hati ketika Anda tahu bahwa teknologinya ada. Indonesia ada di kawasan Cincin Api -- tsunami akan terjadi lagi," ucapnya.