RIAUMANDIRI.CO, SURABAYA - Pemilihan Umum 2019 akan dipenuhi perang informasi karena makin tinggi tingkat pemanfaatan perangkat media teknologi komunikasi, kata pakar komunikasi politik asal Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo.
Kepada wartawan di Surabaya, Jumat (14/9/2018), dia mengatakan bahwa teknologi komunikasi menyajikan begitu banyak informasi memikat meski keakuratannya belum terbuktikan.
Menurut Sukowi, sapaan akrabnya, pemilih akan sulit membedakan mana informasi benar dan mana yang salah, khususnya terkait dengan maraknya berita bohong atau hoaks.
Banyaknya hoaks dan tidak tersedianya informasi akurat yang memikat pemilih, kata dia, akan mengakibatkan tingkat partisipasi pada Pemilu 2019 cenderung menurun.
Oleh karena itu, dosen FISIP Unair tersebut menyarankan politikus memanfaatkan media arus utama, baik media konvensional maupun media baru, termasuk bisa bersinergi untuk melakukan komunikasi politik maupun politik pemasarannya.
"Kunci kemenangan terletak pada kecerdasan kandidat dalam mengelola komunikasi dan mengelola relasi atau hubungan dengan pemilih," ucap akademisi yang pernah menjabat sebagai "Penasihat Spiritual Presiden" Republik Mimpi pada acara program televisi swasta nasional beberapa tahun lalu tersebut.
Ia mengatakan bahwa terjadinya perang informasi tersebut merupakan hasil fokus grup diskusi "Kaukus Politik Cerdas Bermartabat" yang melibatkan sejumlah ahli sosial, ekonomi, komunikasi, dan politik di Jatim.
Sementara itu, pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura Mochtar W. Oetomo juga mencatat pemilih belum siap dengan polarisasi yang berbeda dengan sikap memilih di pilkada serentak.
"Terjadi kekacauan peta politik disebabkan oleh kompleksitas pemilih dalam mencoblos karena dihadapkan banyaknya jenis pilihan (Pilpres, Pemilu DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota)," katanya.
Selain itu, juga disebabkan persepsi sebagai akibat maraknya kasus korupsi yang menimpa anggota dewan, khususnya kasus terakhir di DPRD Kota Malang.
"Kondisi tersebut mengakibatkan disorientasi pemilih yang pada gilirannya para pemilih tidak memiliki pilihan pasti," katanya.
Oleh karena itu, dalam konteks political disruption seperti ini perlu strategi pemenangan berbasis data dan kandidat tidak boleh berpolitik dengan insting, apalagi hanya mengandalkan laporan "asal bapak senang" dari tim sukses.
"Akibat kekacauan peta kekuatan politik ini, uang tidak cukup bisa diandalkan untuk membeli suara," kata Direktur Surabaya Survey Centre (SSC) itu.