RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Bakal Calon Wakil Presiden, Sandiaga Uno menyindir melemahnya rupiah dengan menyebut bahwa ukuran tempe jadi setipis kartu ATM, seiring dengan naiknya harga kacang kedelai yang masih menggunakan sistem impor.
Menanggapi hal itu, Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan seharusnya tempe di Indonesia tidak setipis kartu ATM. Menurut dia, tempe produksi petani bisa setebal TV ukuran 24 inci.
Hal tersebut diungkapkan oleh Mantan Bupati Purwakarta tersebut di kediamannya. Tepatnya, di Desa Sawah Kulon, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Rabu (12/9/2018).
“Katanya sudah parah tipisnya, setipis kartu ATM. Itu seharusnya tempe kita mah setebal TV ukuran 24 inch. Caranya, Indonesia harus memiliki bahan baku yang cukup dalam hal ini kedelai,” katanya.
Berdasarkan data resmi Badan Penelitian Aneka Kacang dan Umbi, produksi kedelai setiap tahun mengalami kenaikan. Rata-rata produksi pada tahun 2011-2013 sebesar 824,81 ribu ton kedelai. Jumlah tersebut meningkat pada periode tahun 2014-2016 menjadi 934,58 ribu ton atau naik 13,31%.
Luas lahan tanam kedelai pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Medio 2011-2013, luas lahan kedelai di Indonesia sebesar 580.220 hektar. Luas tersebut bertambah menjadi 609.920 hektare pada medio 2014-2016.
Berbagai peningkatan tersebut faktanya belum bisa memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Kementerian Pertanian mencatat, kebutuhan dalam negeri Indonesia terhadap kedelai terhitung tinggi yakni 2,3 Juta ton/tahun. Sementara, rata-rata produksi selama 5 tahun terakhir hanya sebanyak 982,47 ribu ton/tahun atau sekitar 43% saja.
Sisanya, pemerintah membuka keran impor kedelai terutama untuk kedelai transgenik produksi Amerika Serikat. Menurut Dedi, fenomena ini harus segera disikapi pihak pemerintah dengan cara memotivasi petani untuk menanam kedelai. Selain itu, analisis pasar sangat dibutuhkan agar ada kepastian terserapnya hasil produksi petani di pasaran.
“Produksi kedelai dalam negeri harus ditambah. Petani kedelai kita diedukasi dan diberikan motivasi yang kuat bahwa menanam kedelai bisa memberikan keuntungan. Setelah itu, pasarnya dianalisa dan rantai distribusi yang mengakibatkan kedelai mahal itu dipotong,” ujarnya.
(Baca Juga: Sandiaga: Ukuran Tempe Sekarang Setipis Kartu ATM)
Ironi yang mendera petani kedelai di Indonesia menurut Budayawan Jawa Barat itu bukanlah hal baru. Dedi menceritakan, petani terpaksa memotong kedelai muda untuk dijual dalam bentuk ikatan yang sudah direbut.
Penganan ini dalam istilah orang Jawa Barat disebut ‘Kacang Jepun’. Biasanya, kacang jepun dijual oleh para pedagang dengan menggunakan gerobak dorong.
“Petani melakukan itu karena merasa khawatir kedelainya tidak laku. Mereka merebus kacang kedelai dengan tangkainya, dijual keliling oleh pedagang,” katanya.
Akibatnya, nilai ekonomi ‘kacang jepun’ tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan para petani. Hal ini berimplikasi, minimnya minat petani di Indonesia menanam kedelai.
“Masih dianggap belum menguntungkan. Karena itu, saya kira dibutuhkan segera langkah-langkah strategis untuk menangani ini. Saya yakin Indonesia bisa swasembada kedelai jika ada usaha keras dan konkret untuk perbaikan nasib petaninya,” tuturnya.