RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Tuntutan agar pelaku persekusi terhadap aktivis wanita, Neno Warisman untuk diusut kembali disuarakan. Kali ini datang dari ratusan mahasiswa Universitas Riau (UR) yang melakukan aksi demo di Mapolda Riau, Senin (3/9/2018) petang.
Menurut mereka, perlakuan terhadap Presedium gerakan #2019GantiPresiden yang dipulang paksa pada Sabtu (25/8) lalu, adalah bentuk pembungkaman demokrasi dan penodaan terhadap nilai-nilai Budaya Melayu. Untuk itu, mereka menuntut agar Polda Riau mengusut tuntas dugaan persekusi terhadap Neno Warisman dalam waktu lima hari ke depan.
Aksi dimulai sekitar pukul 16.00 WIB, dimana sebelumnya pendemo menyuarakan aspirasinya di Tugu Zapin, Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. Tak hanya itu, massa juga membakar tiga ban di lokasi aksi, yang membuat asap hitam mengepul.
"Sabtu (25/8) lalu, terjadi insiden pembungkaman demokrasi dan menodai nilai-nilai Budaya Melayu. Kita tahu, orang Melayu dikenal orang yang santun dan ramah," teriak Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri, Randi Andiyana dalam orasinya.
Selanjutnya, mereka bergerak ke gerbang Mapolda Riau. Di sini, mereka kembali melakukan orasi. Mereka hendak menemui Kapolda Riau, Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo. Sayangnya keinginan mahasiswa itu tidak terealisasi. Menurut informasi yang diterima, Kapolda tidak berada di tempat.
Di sini, penyampaian orasi kembali dilakukan. Mereka menilai, pemulangan dan penghadangan Neno Warisman saat itu, melibatkan aparat kepolisian dan Kepala Badan Intelejen Daerah (Kabinda) Riau, Marsma TNI Rakhman Haryadi.
"Dalam hal ini, oknum BIN Daerah Riau melakukan tindakan represif terhadap tamu yang datang ke Riau. Tindakan represif ini menciderai kebebasan berdemokrasi di negeri ini," lanjut Randi.
Dalam hal ini kata dia, oknum BIN Daerah Riau itu, telah melakukan unprosedural. Kabinda dinilai telah menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindakan represif. Jelas katanya, itu sudah melanggar aturan-aturan yang berlaku.
"Oknum itu melanggar Undang-undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yakni Pasal 6 ayat (5), dan Pasal 18 huruf (c)," katanya seraya mengatakan pada Pasal 6 ayat (5) disebutkan bahwa, dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia.
Kemudian oknum Kabinda itu dinilai telah melanggar kode etik intelijen negara. Pada Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa personel intelejen negara yang melakukan pelanggan kode etik intelejen, dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi dan/atau dikenakan hukuman disiplin.
"Kami menuntut BIN, untuk menindak Kabinda yang telah melanggar kode etik. Pelanggaran berat kode etik. Kami minta untuk diberikan sanksi berat," tegas Randi.
Dia juga menyebut, penghadangan dan pemulangan Neno Warisman itu, telah mengangkangi hak mengemukakan pendapat. Padahal hak berdemokrasi, sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3).
Riau yang merupakan negeri Melayu kata Randi, juga sangat menghormati, santun, dan memuliakan tamu. Tetapi insiden 25 Agustus itu, dinilai telah menodai budaya Melayu itu.
Mereka pun menilai aparat, tidak mampu mengamankan massa yang menolak kehadiran tamu. Padahal, jelas bahwa aksi tersebut melanggar Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Di mana, dalam Pasal 9 ayat 1, penyammian pendapat di muka umum tidak dapat dilaksanakan objek vital nasional. "Sedangkan bandara merupakan objek vital nasional. Tapi, massa aksi masih dapat membakar ban di sekitar bandara," imbuh Randi.
Oleh karena itu, mereka menyampaikan empat poin pernyataan sikap. Presiden BEM Unri yang langsung membacakan pernyataan sikap tersebut.
Poin pertama, mengecam keras segala tindakan represif, pembungkaman hak demokrasi dan menodai nilai-nilai budaya Melayu. Lalu yang kedua, mendesak kepada oknum yang melakukan tindakan represif, serta menodai nilai budaya melayu dan membungkam hak demokrasi untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada seluruh elemen masyarakat Riau.
Ketiga, menuntut BIN untuk menindak tegas oknum BIN daerah yang melakukan pelanggaran kode etik dan pembungkaman hak demokrasi.
Keempat, menuntut Kapolda Riau, mengusut tuntas oknum yang melakukan tindakan represifitas dan pembungkaman demokrasi pada 25 Agustus 2018 dengan waktu yang ditentukan selama lima hari kerja, dari pernyataan sikap dibacakan.
"Jika tidak ditindaklanjuti, kami siap kembali menemui secara langsung, bertamu kembali ke Polda Riau, menemui Kapolda. Kami juga mengajak pemuda lain, termasuk BEM lainnya, serta Ormas serta OKP lain, Kami akan membawa nama besar mahasiswa Riau," sebut Randi.
Dua jam melakukan aksinya, mereka menyerahkan pernyataan sikapnya kepada perwakilan Polda Riau. Dengan mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian, ratusan mahasiswa UR itu membubarkan diri dengan tertib.
Reporter: Dodi Ferdian