Geger Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri bukan saja merugikan kinerja pemerintahan, melainkan yang sangat terasa merugi justru dunia pendidikan. Mengapa? Geger ini selalu menjadi headline media, baik cetak, elektronik, maupun media sosial.
Para peserta didik juga selalu melihat dan mencermati geger ini. Sangat berbahaya karena di tengah dunia pendidikan mengampanyekan secara masif terkait nilai-nilai pendidikan antikorupsi, ternyata para petinggi negeri ini sibuk dengan kasus korupsi yang tidak mampu ditangani. Lembaga KPK yang selama ini dikagumi juga terjebak dalam intrik politik yang mengakibatkan nalar berpikir para peserta didik menjadi tersesat.
Elite bangsa ini selalu mengumbar anomali. Pada saat semangat pendidikan antikorupsi digalakkan, kaum elite malah berlomba mematikan semangat itu. Rakyat sudah bosan karena perilaku elite sama sekali tidak mencerminkan, apalagi mewakili harapan rakyat. Perilaku kaum elite benar-benar mencederai semangat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, berupa melindungi tumpah darah Indonesia. Indonesia yang lahir dengan cita-cita besar justru "dijual" dengan nafsu dan kepentingan sesaat.
Semangat pendidikan antikorupsi sekarang berada di persimpangan jalan. Para guru semakin kesulitan menjelaskan nilai antikorupsi karena berita yang tersebar setiap harinya justru menghadirkan koruptor yang tiada henti. Lembaga KPK juga semakin lemah dan dilemahkan karena komisionernya terjebak dan dijebak dalam kepentingan politik.
Semangat antikorupsi semakin hari semakin runtuh sehingga terjebak dalam berbagai tragedi. Pertama, karena korupsi dilakukan dan diberitakan dengan "telanjang", peserta didik gagal, bahkan makin asing degan jejak hidup para pendiri bangsa yang merumuskan cita-cita Indonesia.
Korupsi telah meruntuhkan semangat kebangsaan peserta didik kita. Peserta didik semakin jauh dari sejarah perjalanan Indonesia yang disinyalir pernah beberapa kali—bahkan tidak menutup kemungkinan justru kini tengah-– keluar jalur dari tujuan pembentukannya, baik sebagai nation (bangsa), sebagai state (negara), dan terutama sebagai nation state (negara bangsa).
Harsya W Bachtiar telah menerangkan perbedaan Indonesia sebagai nation dan Indonesia sebagai state. Sebagai nation, kata Harsya, Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan. Sedangkan sebagai state, Indonesia merupakan suatu organisasi politik. Seseorang merupakan bangsa Indonesia ketika ia menganggap dirinya sebagai bagian dari nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan solidaritas dari seseorang terhadap tujuan bersama masyarakat Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (HAR Tilaar, 2007: 30-31).
Kedua, korupsi memutus peserta didik dari geneologi pemikiran dan perjuangan para pendiri bangsa. Putusnya generasi hari ini dari pendiri bangsa menyebabkan tercerabut dari akar keindonesiaan. Ini sangat berbahaya karena bisa menjadi generasi bermental "menerabas" yang merusak tatanan kebangsaan. Untuk itu, penting mencetuskan pentingnya mempelajari kembali pemikiran para pendiri bangsa agar terjalin kesinambungan genealogi pemikiran dan perjuangan terus-menerus antargenerasi warga negara ini demi tercapainya kesadaran sejarah bersama dan tujuan pembentukan NKRI.
Kurniawan (2002) mencatat bahwa para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang dengan kualitas intelektual dan moral kacangan. Pada masanya, bahkan pada masa kini, mereka dapat diibaratkan cahaya dari pelupuk zaman kegelapan yang menerpa nusantara manakala diterjang imperialisme dan feodalisme. Di antara mereka ada yang lahir dari pergulatan pendidikan tradisional keagamaan dan banyak pula yang lahir dari kawah candradimuka pendidikan modern.
Di antara mereka ada yang menguasai banyak bahasa internasional, dan tentu saja, mereka berjiwa kuat dengan durabilitas (ketahanan) perjuangan yang berkobar, meski harus mengalami penyiksaan, diasingkan, bahkan pembunuhan. Sebagian besar di antara mereka adalah para pembaca buku dan penelusur gagasan yang rakus.
Pendidikan antikorupsi harus selalu digaungkan, apalagi di tengah kondisi bangsa yang makin karut-marut ini. Masyarakat harus saling membahu untuk meneguhkan semua elemen hukum dalam memberantas korupsi, khususnya lembaga pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan harus menjadi ujung tombak utama dalam pemberantasan korupsi.
Lembaga pendidikan merupakan akar sehingga harus bekerja ekstrakeras dalam mewujudkan generasi yang siap melawan korupsi pada masa depan. Lembaga pendidikan harus menciptakan figur-figur yang kuat, bukan latah dan tukang fotokopi gagasan. Lembaga pendidikan harus menciptakan kader yang keseluruhan ciri-ciri kepribadiannya hampir atau menyerupai figur pendiri bangsa ini, yakni manusia-manusia autentik, manusia-manusia yang relatif telah mengenali siapa dirinya yang sesungguhnya. Dalam bahasa Anies Baswedan, mereka adalah generasi yang telah selesai dengan urusan pribadinya masing-masing.
Kedua, kurikulum pendidikan antikorupsi harus didesain ulang lagi. Ini penting karena ketika melihat fakta elite politik yang merusak semangat antikorupsi, dunia pendidikan masih belum bisa bersuara. Hal itu harus didesain ulang sehingga kurikulum pendidikan memungkinkan peserta didik, khususnya yang di perguruan tinggi, untuk melawan korupsi, bahkan sampai "turun jalan". Gerakan "turun jalan" atau suara lantang lewat apa pun harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sehingga pendidikan bukan sekadar dalam kertas saja, melainkan juga dalam gerakan melawan ketidakadilan.
Ketiga, pendidikan sebagai bagian dari masyarakat harus mampu bersinergi dengan semua elemen masyarakat dalam memberantas korupsi. Lembaga pendidikan jangan berada di menara gading. Lembaga pendidikan harus bersama masyarakat dalam menggalang berbagai diskusi, gerakan, media, dan lainnya yang saling bersinergi untuk melawan korupsi.
Lembaga pendidikan harus bersuara di tengah kebekuan. Karena, pendidikan lahir, kata Tan Malaka, adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. "Pendidikan mem buat orang menjadi baik," kata Plato, filsuf Yunani, "dan orang baik tentu berperilaku mulia.***
Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta