Oleh: Miftah Sabri
CEO Selasar Indonesia dan Tokoh Muda Ekonomi Digital Nasional
RIAUMANDIRI.CO - Masih terbersit di benak saya pertemuan antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto di Istana Bogor tahun 2015 lalu, setahun setelah kemenangan Jokowi. Entah menjadi momen ke berapa bagi Prabowo untuk menunjukkan pada publik betapa siapnya beliau menjadi “pihak yang kalah” dan kembali menjadi rakyat biasa layaknya jutaan rakyat Indonesia lainya pasca gugatan MK Pilpres 2014. Hormat khas militer tak pernah lepas dari dirinya, baik saat dua kali saling berkunjung dengan Jokowi, maupun terhadap Megawati ketika momen heroik yang terjadi di KPU pra Pilpres 2014 dan saat bertemu lagi pada acara pelantikan Jokowi di gedung MPR Oktober 2014 lalu. Konon kata orang-orang yang dekat dengan beliau, begitulah beliau yang seada-adanya.
Era pasca reformasi seolah-olah telah menjadi periode kelahiran baru baginya, kelahiran yang menyimbolkan pengharapan atas penghapusan stigma-stigma negatif rezim terdahulu yang ditancapkan di pundaknya, karena seolah-olah selama ini hanya ditanggung sendiri oleh beliau. Kemunculan kembali Prabowo ke pentas nasional seolah-olah menyiratkan bahwa beliau sedang diberi kesempatan kedua untuk membantah semua yang telah terlanjur dilekatkan pada dirinya selama ini. Ajang pembuktian bahwa Prabowo pra reformasi adalah bukan Prabowo pasca reformasi.
Prabowo prareformasi adalah Prabowo yang bernafas dan bergerak karena kontrol rezim yang sedang berkuasa waktu itu dan Prabowo pasca reformasi adalah Prabowo per se dan Prabowo ex ante, Prabowo yang sebenar-benarnya Prabowo dengan seutuh-utuhnya kepribadian yang beliau miliki. Namun berkali-kali kita saksikan, beliau tak hendak berdebat dengan penentang-penentangnya dengan menggunakan jurus lisan yang berkelok-kelok, cukuplah sikap dan laku politik yang membuktikannya. Dan pertemuan pasca-Pilpres 2014 tersebut menjadi salah satu rentetan demi rentetan pembuktian itu. Rumor kudeta jika kalah dalam pemilihan presiden telah terbantahkan seketika pasca putusan MK dan rumor murahan soal boikot pelantikan Jokowi pun pudar tanpa penjelasan dengan kehadiran beliau secara kesatria ke gedung MPR bulan Oktober 2014 itu.
Ada kesan yang menarik dalam pertemuan itu. Prabowo terlihat seperti sedang menularkan sikap sportif seorang ksatria dan sikap tangguh seorang pesilat kepada Jokowi. Menularkan dalam makna memberi dukungan dan penekanan komitment, sekaligus menyampaikan pesan halus bahwa status ksatria yang disematkan kepada Jokowi bukan semata status seremonial, tapi lebih kepada status yang mengandung pesan moral untuk kepemimpinan nasional ke depan. Penyematan status “ksatria” kepada Jokowi oleh Prabowo yang notabene baru saja terpilih sebagai presiden pencak silat dunia kala itu boleh jadi mengandung arti “nasehat moral” yang berbunyi “jadilah ksatria”, “hadapilah masalah bangsa dengan ksatria”.
Dari sisi Jokowi pun nampaknya tak berbeda alias beliau juga layak diacungkan jempol saat momen tersebut berlangsung. Terlepas dari olok-olok para pendukung fanatiknya atas pertemuan tersebut Jokowi membuktikan diri bahwa relasi politik SBY-Mega pasca kontestasi di waktu-waktu yang lalu bukanlah preseden politik yang layak dipertahankan dan ditiru oleh kepemimpinan nasional yang baru. Momen pemilihan sudah lewat, saat ini adalah moment membangun bangsa, tak ada sekat masa lalu yang harus dipertahankan jika itu hanya menghambat lahirnya kebaikan-kebaikan nasional. Mungkin nampaknya berkesan sangat politis bahwa Jokowi sedang mencari amunisi politik cadangan dari kubu koalisi pendukung Prabowo karena kian galaunya status kepresidenan beliau pasca pencalonan Budi Gunawan yang berakhir ricuh bin gaduh saat itu. Tapi memang begitulah politik.
Kejadian tersebut sejatinya bukanlah tanpa preseden. Prabowo pernah berjuang habis-habisan untuk mengusung Jokowi-Ahok menjadi penghuni posisi Jakarta satu dan Jakarta dua. Prabowo rela berualng-ulang kali menyambangi Megawati hanya untuk meyakinkan pencalonan Jokowi waktu itu. Setelah mendapat mandat dan persetujuan dari Megawati, Jokowipun mendatangi kediaman Prabowo untuk mengucapkan terimakasih sembari memaparkan kondisi finansial pribadinya yang sangat minim untuk mengikuti sebuah kontestasi “gubernatorial” selevel Jakarta. Tapi toh ujungnya tak ada masalah, akhirnya Jokowi memenangkan konstestasi perebutan tahta Jakarta dengan meriah dan gempita.
Kurang lebih setahun pasca-Pilpres 2014, situasi itu terjadi lagi untuk konten politik yang hampir mirip. Jokowi butuh dukungan, entah seperti apa dukungan itu, waktu akan membuktikanya nanti. Namun Prabowo telah lebih dulu membuktikan bahwa beliau takluk kepada legitimasi presiden terpilih dan akan selalu mendukung apapun keputusan presiden ke depan jika itu baik untuk rakyat. Dari sini lah kualitas Prabowo terlihat jauh mendahului para pecintanya yang masih menyebarkan kebencian terhadap Jokowi di jejaring sosial, layaknya pendukung fanatik Jokowi terhadap Prabowo. Bahkan sampai detik ini, masih banyak pendukung fanatik Prabowo yang tidak mengakui keterpilahan Jokowi sebagai presiden dan juga pendukung fanatik Jokowi yang sengaja mencari-cari celah cela Prabowo untuk dijadikan status jejaring sosial. Walaupun semuanya ternyata sangat kontras dengan Prabowo sendiri. Jauh hari sebelum pemilihan dan kampanye Pilpres dimulai, beliau sudah menyatakan siap kalah dan akan sportif mengakui kekalahannya. Setelah Pilpres usai dan beliaupun akhirnya dinobatkan sebagai “kandidat yang kalah”, beliau juga membuktikan penghormatannya kepada yang menang dan mengakui kekalahan.
Beberapa hari setelah mereka reuni kembali Jokowi Prabowo pasca Pilpres 2014, publik tersadar bahwa menjadi seorang presiden bagi seorang Jokowi bukanlah segala-galanya dan batal ataupun tertunda menjadi presiden bagi Prabowo juga bukan kiamat yang fatal. Mereka berdua adalah dua anak terbaik ibu pertiwi yang muncul ke permukaan saat seleksi nasional tahun 2014 lalu. Terpilih sebagai orang nomor satu tidak berarti menghilangkan eksistensi kandidat lainya, begitupun sebaliknya. Dan sepanjang kepemimpinan Jokowi sampai beberapa waktu lalu penentuan siapa yang akan menjadi lawan tanding Jokowi di Pilpres 2019, mereka berdua bisa saling berbagi dan mengisi, meski dalam posisi dan paradigma politik yang tak sama. Terbukti di saat gelombang 212 yang sempat menghebohkan negeri ini setahun lalu, Prabowo kembali muncul ke permukaan dan bertemu dengan Jokowi untuk meyakinkan bahwa kekuasaan presiden terpilih akan berjalan sesuai titah Undang-Undang yang ada, apapun yang terjadi.
Sejatinya, cerita ini memberi kita pemahaman bahwa ternyata mereka berdua mampu berinteraksi dengan sangat manis setelah kompetisi yang lumayan berdarah-darah beberapa tahun sebelumnya. Dengan kata lain, saat Jokowi menyatakan diri akan maju pada Pilpres 2019 didampingi KH Maaruf Amin di satu sisi, dan di saat yang tak terlalu lama, Prabowo juga menyatakan diri akan kembali maju di ajang yang sama dengan menggandeng Sandiaga Uno, sebenarnya ada peluang besar bagi kedua kubu untuk memainkan kartu-kartu positif dalam kontestasi, jauh dari kartu primordialisme, politik fitnah memfitnah, politik identitas, dan SARA. Dan selayaknyalah model relasi di antara kedua tokoh besar ini menjadi fondasi fundamental untuk kompetisi yang akan berjalan di tahun 2019 nanti. Semoga. ***