Oleh: Dr Irvandi Gustari
Direktur Utama Bank Riau Kepri
Acap kali di antara kita mencampuradukkan antara ekonomi syariah dengan perbankan syariah. Dua substansi yang tidak bisa dipisahkan sesungguhnya, namun tidak bisa pula kita persamakan. Hal itu bermakna bahwa ekonomi syariah cakupannya lebih luas dan di dalamnya mencakup perihal perbankan syariah. Kalau tak fokus, ya akan membuat kita sedikit bingung.
Tapi kita tidak usah terlalu serius dan terjebak untuk mencari dikotomi antara ekonomi syariah dengan perbankan syariah. Ada yang lebih penting yang perlu kita cermati, yaitu untuk mempercepat perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, bagaimana caranya kita menjahitkannya dengan perbankan syariah.
Lumayan menarik untuk dicermati tentang perbankan Syariah di Indonesia yang relatif lamban. Aset perbankan syariah pada sektor industri keuangan syariah mencapai Rp435 triliun pada 2017 atau 5,8 persen dari total aset perbankan Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir pergerakannnya dari 4,8% dan untuk sampai ke 5,8% itu, juga terbantu dengan adanya konversi BPD Aceh menjadi Bank Syariah.
Dari segi pembiayaan untuk mendukung penguatan ekonomi, terungkap bahwa masih dominan untuk pembiayaan konsumsi, dengan rincian pembiayaan syariah mencapai 41,8 persen yang sebagian digunakan unuk konsumsi sedangkan pembiayaan modal kerja sebanyak 34,3 persen dan investasi sekitar 23,2 persen.
Singkatnya , bila ada pertanyaan, mengapa pertumbuhan perbankan syariah relatif lamban? Jawabannya singkat pula, yakni saat ini industri perbankan dan sektor riil syariah tak terafiliasi dengan baik. Hal ini membuat perbankan syariah sulit untuk berkembang. Sepatutnya (perbankan syariah) harus bersentuhan dengan sektor riil, karena sektor riil yang membutuhkan pembiayaan.
Lalu untuk perihal potensial market Indonesia yang 85 persen penduduknya muslim dengan kondisi yang ada saat ini, baik di sektor riil maupun keuangan itu, seharusnya Indonesia itu lebih berpotensial sebagai net producer.
Namun kenyataan Indonesia kini masih menjadi net consumer. Penyebabnya adalah diantaranya belum ada koordinasi yang jelas mengenai pengembangan industri halal itu sendiri, termasuk di dalamnya industri keuangan syariah. Bisa kita vonis keduanya cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Yang lebih membuat kita harus melek adalah justru produk-produk halal diekspor dari negara-negara yang bukan berpenduduk mayoritas muslim, seperti Thailand sebagai negara terbesar sebagai pengekspor bumbu halal. Kemudian Australia menjadi negara penghasil daging halal terbesar, lalu Jepang telah membangun pariwisata dan kuliner halal, dan Malaysia mencatat perkembangan ekonomi syariah yang sangat besar.
Tentunya harus menjadi renungan tersendiri bila kita bertanya kepada diri sendiri, apakah kita rela hijab dari Tiongkok, bumbu halal dari Thailand, dan daging halal dari Australia?
Terkait paparan di atas, tentunya kita tidak harus cari salah siapa? Kita sepatutnya optimis, karena meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia, dan ternyata yang menjadi nasabah perbankan syariah, toh sangat banyak dari penganut agama lain.
Dengan demikian ini menjadi peluang bisnis, di mana sudah banyak muncul pemahaman yang pada tempatnya yaitu ekonomi syariah adalah suatu format perekonomian dan bisa digunakan oleh semua pihak.
Kesimpulannya, kita jangan terlena terpaku memperbanyak bus-nya, tapi lupa untuk memperbanyak jumlah penumpang agar busnya terisi penuh dan kurang mempersiapkan terminal dan haltenya. Ini terlihat bahwa kita terlalu semangat menumbuhkan perbankan syariah, namun kenyataannya pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Malaysia 23,8 persen, Arab Saudi 51,1 persen, dan Uni Emirat Arab 19,6 persen. Ya memang syarat perbankan syariah bisa maju pesat, maka ekonomi syariah harus dimajukan secara beriringan. ***