RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Kepolisian Daerah (Polda) Riau telah menerima hasil audit Penghitungan Kerugian Negara (PKN) kasus dugaan korupsi pemasangan pipa transmisi di Tembilahan, Indragiri Hilir (Inhil) sebesar Rp2,5 miliar. Saat ini, penyidik masih fokus mendalami keterlibatan dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Adapun dua pesakitan tersebut, yaitu Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja yang merupakan pihak rekanan, dan Edi Mufti BE selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kegiatan. Sebelum menyandang status tersangka, kedua pernah diperiksa sebagai saksi.
Dalam perjalanan perkaranya, keduanya diketahui telah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Ke depan, penyidik masih membutuhkan keterangan keduanya untuk melengkapi berkas dan menghimpun bukti-bukti terkait.
"Untuk pemeriksaan terhadap tersangka akan dilakukan secepatnya," ungkap Kabid Humas Polda Riau Guntur Aryo Tejo, Senin (26/3/2018).
Saat ini, sebut Guntur, pihaknya masih fokus mendalami keterlibatan kedua tersangka, dan belum menemukan indikasi keterlibatan pihak lain dalam penyimpangan dalam proyek yang dikerjakan pada tahun 2013 lalu itu.
"Belum ada indikasi ke yang lain. Kuta masih fokus pada yang ini (dua tersangka,red) dulu," terang Guntur seraya mengatakan Penyidik juta telah menerima hasil audit PKN dalam perkara tersebut, yakni sekitar Rp2,5 miliar lebih. "Penghitungan kerugian negara juga sudah ada," tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dir Reskrimsus) Polda Riau Kombes Pol Gidion Arif Setiawan mengungkapkan, penghimpunan bukti dan keterangan dari para tersangka perlu dalam pengembangan perkara. Dari pengembangan inilah nantinya diketahui pihak-pihak lain yang diduga kuat terlibat.
"Untuk tersangka baru, harus kita gelar (perkara, red) lagi. Jika ditemukan bukti baru akan ada tersangka lagi," kata Gidion beberapa waktu lalu.
Dalam proses penyidikan, sejumlah saksi telah pernah dimintaiketerangannya. Saksi-saksi itu diambil dari pihak-pihak yang melaksanakan proyek, baik dari pihak pemerintah maupun rekanan, termasuk Wakil Bupati Bengkalis, Muhammad, yang saat itu menjabat Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Riau.
Dugaan korupsi ini berawal dari laporan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Proyek milik Bidang Cipta Karya Dinas PU Provinsi Riau tahun 2013 ini, menghabiskan dana sebesar Rp3.415.618.000. Proyek ini ditengarai tidak sesuai spesifikasi.
Dalam laporan LSM itu, Muhammad, yang saat itu menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau tahun 2013, diduga tidak melaksanakan kewajibannya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek pipa tersebut.
Selain itu, LSM itu juga menyebut nama Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja, dan Edi Mufti BE selaku PPK, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini.
Dalam kontrak pada Rencana Anggaran Belanja (RAB), tertera pekerjaan galian tanah untuk menanam pipa HD PE DLN 500 MM PN 10 dengan volume sepanjang 1.362,00. Ini berarti galian tanah sedalam 1,36 meter dan ditahan dengan skor pipa kayu bakar sebagai cerucuk. Galian seharusnya sepanjang dua kilometer.
Pada lokasi pekerjaan pemasangan pipa, tidak ditemukan galian sama sekali, bahkan pipa dipasang di atas tanah. Selain itu, pada item pekerjaan timbunan bekas galian, juga dipastikan tidak ada pekerjaan timbunan kembali, karena galian tidak pernah ada.
Pekerjaan tersebut dimulai 20 Juni 2013 sampai dengan 16 November 2013, sementara pada akhir Januari 2014 pekerjaan belum selesai. Seharusnya, kontraktor pelaksana PT Panotari Raja diberlakukan denda keterlambatan, pemutusan kontrak, dan pencairan jaminan pelaksanaan.
Namun anehnya, pihak Dinas PU Riau tidak melakukan denda, tidak memutus kontrak, dan tidak mencairkan jaminan pelaksanaan. Parahnya lagi, Dinas PU Riau merekayasa serah terima pertama pekerjaan atau Provisional Hand Over sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan/PHO Nomor: 0/BA.ST-I/FSK.PIPA.TBH.XII/2013 tanggal 13 Desember 2013.
Akibat dari tidak dilakukannya pekerjaan galian tanah, tidak dilakukannya penimbunan kembali galian tanah atau pekerjaan tidak dilaksanakan namun pekerjaan tetap dibayar, negara diduga telah dirugikan Rp700 juta.
Denda keterlambatan 5 persen dari nilai proyek sama dengan Rp170.780.900, dan jaminan pelaksanaan 5 persen dari nilai proyek juga Rp170.780.900. Sehingga diperkirakan total potensi kerugian negara Rp1.041.561.800, lebih kecil dari hasil audit yang telah Penyidik.
Reporter: Dodi Ferdian
Editor: Rico Mardianto