RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar hukum anggaran negara dan keuangan publik dari Universitas Indonesia Dr. Yuli Indrawati menegaskan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak berwenang melakukan tindakan hukum apapun terhadap aset berupa tanah atau lahan yang sedang dipakai saat ini, karena tanah tersebut masih milik Kementerian Perhubungan.
Penegasan itu disampaikan Yuli dalam focus group discussion yang diselenggarakan Badan Akutabilitas Publik (BAP) DPD RI di Gedung DPD, Jumat (16/3) dengan menghadirkan pakar hukum agraria dan pakar hukum anggaran negara dan keuangan publik.
Dia melihat, dari perubahan status badan hukum yang menyelenggarakan perkeretaapian sejak DKA hingga saat ini PT.KAI (persero), yakni Perubahan status badan hukum yang awalnya merupakan bagian dari instansi pemerintah (DKA, PNKA, PJKA), hingga semi-instansi pemerintah berupa PERUMKA dan bermetamorfosis menjadi PT.KA dan PT.KAI hingga saat ini.
"Perubahan status badan hukum ini tentu implikasinya terhadap sumber daya manusia dan asetnya memiliki tatacara atau prosedur dalam ranah perbendaharaan negara," jelas Yuli.
Mendurut dia, dari perspektif hukum anggaran negara dan keuangan publik bahwa fakta hukumnya memang tidak ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan pengalihan tanah yang digunakan PJKA menjadi penambahan penyertaan modal negara kepada PERUMKA ataupun PT KAI.
"Tanah yang digunakan PERUMKA atau PT KAI bersertipikat Hak Pakai atas nama Departemen Perhubungan c.q. PJKA, serta tidak pernah dibukukan sebagai aktiva tetap (modal) perusahaan Perumka atau PT KAI dalam neraca Perusahaan," ungkapnya.
Dalam perspektif hukum anggaran negara dan keuangan publik, lanjutnya, aset yang dialihkan kepada PT KAI hanya aset Perumka. Tanah yang digunakan Perumka tidak dapat dialihkan karena bukan aset Perumka, melainkan aset negara.
Dengan demikian, jelasnya, sertipikat hak pakai atas nama Departemen Perhubungan (sekarang Kementerian Perhubungan) c.q. PJKA tidak dapat dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah oleh PT KAI karena secara hukum masih dimiliki oleh Kementerian Perhubungan.
"Sehingga PT KAI tidak berwenang melakukan tindakan hukum apapun terhadap aset yang sedang dipakainya. Tindakan hukum atas tanah tersebut hanya dapat dilakukan atas perintah, delegasi atau mandat oleh Kementerian Perhubungan atau Kementerian Keuangan selaku bendaharawan umum negara yang memegang pengelolaan atas barang milik negara," tegasnya.
Ditambahkan, regulasi pemindahtanganan dan penghapusbukuan atas tanah tersebut tetap berada pada regulasi publik sesuai dengan asas contrarius actus. Ketentuan-ketentuan dalam proses pengambilalihan dan lainnya terhadap barang tidak bergerak milik negara pada PT Kereta Api Indonesia (Persero) harus tunduk pada prinsip-prinsip perbendaharaan negara.
Risiko atas tuntutan aset tersebut tidak menjadi risiko dan kerugian BUMN, melainkan menjadi risiko dan kerugian negara dan Sengketa hukum atas tanah tersebut harus mengikuti prosedur dalam Peraturan Menteri BUMN No. 13/MBU/2014 tentang Pendayagunaan Aset Tetap BUMN.
Sementara itu, pakar hukum agraria dari Universitas Andalas Padang, Dr. Kurnia Warman menegaskan, groondkart yang dibuat pada zaman Hindia Belanda tidak bisa serta merta menjadi dasar penguasaan oleh PT. KAI.
"Aspek kepastian dan perlindungan hukum berkenaan dengan legalitas tanah-tanah aset kereta api ditentukan dengan mengikuti ketentuan pendaftaran konversi hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA dan Per-UU-an di luar UUPA terutama PP No. 8 Tahun 1953 dan peraturan pelaksanaannya," jelasnya.
Menurut dia, tujuan konversi hak adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanah, serta memastikan kecocokan hak-hak tersebut dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
"Dengan konversi, penggunaan tanah menjadi tertib dan hak-hak atas tanah yang diperoleh dilindungi oleh hukum. Dalam pelaksanaan konversi selalu diikuti oleh pendaftaran hak atas tanah," jelasnya.
Secara empiris kata dia, saat ini penguasaan tanah-tanah negara banyak menghadapi masalah termasuk dengan masyarakat yang memang sangat membutuhkan.
Pemicu biasanya terjadi ketidaktaatan dalam pengelolaan tanah negara oleh penguasanya. Pendaftaran tanah merupakan salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah negara, dan sekaligus untuk penertiban penguasaan tanah negara.
Pada saat konversi dan pendaftaran tanah inilah diperlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi seperti groondkaart) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke Buku Tanah dan sertipikat tanahnya sesuai kewenangan instansi pemerintah.
Focus group discussion tersebut diselenggarakan BAP DPD RI untuk menindaklanjuti banyaknya laporan masyarakat terkait masalah sengketa lahan antara masyarakat dengan PT KAI. Dimana perbedaan persepsi terhadap grondkaart merupakan akar dari permasalahan tersebut, maka pada tanggal 15 Maret 2015, BAP telah melaksanakan focus group discussion bersama pakar hukum agrarian maupun pakar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik.
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang