Jakarta (HR)- Erwiana Sulistyaningsih senang berhasil menegakkan hukum bagi buruh migran. Menurut dia, kasusnya hanyalah sebagian kecil dari fenomena gunung es. "Sekarang banyak pekerja yang mau mengadu ke kami. Mereka dulu hanya diam," katanya di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, Selasa (3/3).
Pemerintah Hong Kong, kata Erwiana, mengaku malu atas sikap warga negaranya yang memperlakukan buruh migran layaknya budak. "Saya sudah bertemu dengan anggota DPR Hong Kong. Mereka mengaku malu karena kasus ini disorot dunia dan mencoret nama baik negara," kata Er-wiana.
Erwiana adalah tenaga kerja Indonesia korban penganiayaan majikan. Pengadilan Distrik Wan Chai, Hong Kong, memvonis bekas majikan Erwiana, Law Wan Tung, 6 tahun penjara pada 27 Februari 2015. Law Wan terbukti melakukan kekerasan fisik dan intimidasi pidana serta tidak membayar gaji Erwiana.
Selain dipenjara, Tung juga harus membayar membayar denda sejumlah HK$ 15 ribu atau sekitar Rp 25 juta karena tak memberi perempuan asal Ngawi itu libur mingguan, libur nasional, dan asuransi. Gaji Erwiana selama 8 bulan sejumlah HK$ 28.800 atau sekitar 46 juta juga harus segera dibayarkan.
Awalnya, kata Erwiana, pengadilan Distrik Wan Chai hanya memperlakukan kasus ini dalam kategori lain-lain. Namun, atas desakan ribuan buruh migran dan pemberitaan media massa, pengadilan menjadikan kasus Erwiana sebagai prioritas. "Ini menunjukkan bahwa hal-hal seperti ini bisa diubah asal ada kemauan pekerja dan perhatian banyak pihak," katanya.
Dalam putusannya, pengadilan menyerukan agar aturan live-in (hidup bersama majikan) dan agency fee di Hong Kong ditinjau dan diinvestigasi ulang. "Hong Kong juga belum memiliki undang-undang anti-perdagangan manusia dan kerja paksa. Ini harus segera diubah," ucap Erwiana.(tpi/ivi) Editor: