Meraih Iman yang Sempurna
(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)
Sesungguhnya seluruh kebaikan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat tergantung pada iman yang benar. Dengan iman, seorang hamba akan hidup dengan bahagia dan selamat dari berbagai keburukan dan kesusahan di dunia dan akhirat.
Dengan iman, seorang hamba akan meraih pahala dan masuk surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang penuh dengan kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, maupun terlintas pada hati manusia. Demikian juga dengan iman, seorang hamba akan selamat dari neraka. Maka tidak heran jika pengetahuan tentang iman yang benar merupakan ilmu yang paling penting dan perkara yang paling pantas untuk diperhatikan.
Oleh karena itu, di sini akan kami sampaikan sedikit pembahasan tentang cara meraih iman yang sempurna, semoga bermanfaat.
MAKNA IMAN
Dalam bahasa Arab, ada yang mengartikan kata iman dengan “tashdîq” (membenarkan); thuma’nînah (ketentraman); dan iqrâr (pengakuan). Makna ketiga inilah yang paling tepat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata:
“Telah diketahui bahwa iman adalah iqrâr (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq (membenarkan). Dan iqrâr (pengakuan) itu mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq (membenarkan), dan perbuatan hati, yaitu inqiyâd (ketundukan hati)”.[1]
Dengan demikian, iman adalah iqrâr (pengakuan) hati yang mencakup:
- Perkataan hati, yaitu membenarkan/ mempercayai berita.
- Perbuatan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah.
Yaitu keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan kepada semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dari Allâh Ta'âla.
Adapun secara syar’i (agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan amal (perbuatan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata:
“Dan di antara prinsip Ahlus sunnah wal jamâ’ah bahwa ad-dîn (agama/ amalan) dan al-imân adalah perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.[2]
DALIL BAGIAN-BAGIAN IMAN
Dari perkataan Syaikhul Islam di atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus sunnah wal jamâ’ah mencakup lima perkara, yaitu:
- perkataan hati
- perkataan lisan
- perbuatan hati
- perbuatan lisan
- perbuatan anggota badan
Banyak dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas dalam kategori iman, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. |
Perkataan hati, yaitu pembenaran dan keyakinan hati. Allâh Ta'âla berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu |
2. |
Perkataan lisan, yaitu mengucapkan syahadat Lâ ilâha illallâh dan syahadat Muhammad Rasulullâh dengan lisan dan mengakui kandungan syahadatain tersebut. Di antara dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam :
???????? ???? ????????? ???????? ?????? ??????????? ???? ??? ?????? ?????? ???????
Aku diperintah (oleh Allâh) untuk memerangi manusia Pada hadits lain disebutkan dengan lafazh: ???????? ???? ????????? ???????? ?????? ?????????? ??? ?????? ?????? ??????? …
Aku diperintah (oleh Allâh) untuk memerangi manusia |
3. |
Perbuatan hati, yaitu gerakan dan kehendak hati, seperti ikhlas, tawakal, mencintai Allâh Ta'âla , mencintai apa yang dicintai oleh Allâh Ta'âla, rajâ’ (berharap rahmat/ampunan Allâh Ta'âla ), takut kepada siksa Allâh Ta'âla, ketundukan hati kepada Allâh Ta'âla, dan lain-lain yang mengikutinya. Allâh Ta'âla berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan amalan-amalan hati termasuk iman. |
4. |
Perbuatan lisan/lidah, yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan lidah. Seperti membaca al-Qur’ân, dzikir kepada Allâh Ta'âla, do'a, istighfâr, dan lain-lain. Allâh Ta'âla berfirman:
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’ân). Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan amalan-amalan lisan termasuk iman. |
5. |
Perbuatan anggota badan. Yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat, rukû’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang mengganggu dari jalan, dan lain-lain. Allâh Ta'âla berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah, sujudlah, beribadahlah kepada Rabb-mu |
RUKUN-RUKUN IMAN
Sesungguhnya iman memiliki bagian-bagian yang harus ada, yang disebut dengan rukun-rukun (tiang; tonggak) iman. Ahlus sunnah wal jamâ’ah meyakini bahwa rukun iman ada enam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata pada permulaan kitab beliau, ‘Aqîdah al-Wâsithiyah’ :
“Ini adalah aqîdah Firqah an-Nâjiyah al-Manshûrah (golongan yang selamat, yang ditolong) sampai hari Kiamat, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yaitu: beriman kepada Allâh Ta'âla , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk”.[3]
Dalil rukun iman yang enam ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibrîl 'alaihissalam, ketika menjelaskan tentang iman:
???? ???????? ????????? ??????????????? ?????????? ?????????? ??????????? ???????? ?????????? ??????????? ???????? ?????????
Iman adalah engkau beriman kepada Allâh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.
(HR. al-Bukhâri, no.50; Muslim, no. 9)
Rukun iman ini wajib diyakini oleh setiap Mukmin. Barangsiapa mengingkari salah satunya, maka dia kafir!
Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs rahimahullâh berkata:
“Enam perkara ini adalah rukun-rukun iman. Iman seseorang tidak sempurna kecuali jika dia beriman kepada semuanya dengan benar sebagaimana ditunjukkan oleh al-Kitab dan Sunnah. Barangsiapa mengingkari sesuatu darinya, atau beriman kepadanya dengan bentuk yang tidak benar, maka dia telah kafir.” [4]
CABANG-CABANG IMAN
Kemudian, perlu diketahui bahwa iman itu memiliki bagian-bagian yang lebih dari 70 bagian. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
??????????? ?????? ??????????? ???? ?????? ?????????? ???????? ????????????? ?????? ??? ?????? ?????? ??????? ???????????? ????????? ???????? ???? ?????????? ???????????? ???????? ???? ???????????
Iman ada 70 lebih atau 60 lebih bagian,
yang paling utama adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan,
dan rasa malu adalah satu bagian dari iman.
(HR. Muslim, no: 35)
Syaikh ‘Abdul Lathîf bin ‘Abdurrahmân bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullâh berkata:
“Iman adalah satu pokok yang memiliki cabang-cabang yang banyak. Semua cabang itu disebut dengan iman. Yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara cabang iman itu ada yang jika tidak ada, maka iman pun hilang menurut ijmâ’, seperti dua kalimat syahadat. Namun ada juga cabang, yang jika tidak ada, maka iman tidak hilang menurut ijmâ’, seperti: menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan di antara dua cabang ini (yaitu antara syahadat dan menyingkirkan gangguan dari jalan-pent) terdapat cabang-cabang yang berbeda-beda kedudukannya. Di antaranya ada yang dikategorikan sama atau lebih dekat dengan syahadat; namun ada juga yang dikatagorikan sama atau lebih dekat denga menyingkirkan gangguan dari jalan . Menyamakan (kedudukan) semua cabang ini menyelisihi nash-nash (wahyu) dan menyelisihi jalan Salaf serta para imam umat ini.” [5]
Dengan demikian, iman yang sempurna adalah yang memenuhi semua cabang-cabangnya, baik cabang yang pokok, yang wajib, maupun penyempurna. Oleh karena itulah iman itu bisa bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
SEMPURNAKAN CABANG IMAN PADA DIRI KITA
Menyempurnakan iman pada diri kita adalah tuntutan, yaitu dengan memenuhi diri kita dengan cabang-cabang iman sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya para Ulama telah menyusun kitab-kitab khusus yang menjelaskan cabang-cabang iman, seperti Al-Minhâj karya Imam Abu Abdillâh al-Hulaimi asy-Syâfi’i al-Bukhâri, Syu’abul Iman karya Imam al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi, dan lainnya.
Perincian tentang hal ini tentulah panjang sekali, namun di sini akan kami sampaikan sebagian cabang iman yang banyak dilalaikan. Semoga menggugah sebagian umat ini yang belum melaksanakannya dengan baik. Termasuk cabang iman adalah berkata baik atau diam, tidak mengganggu tetangga dan memuliakan tamu. Dalam hadits disebutkan:
???? ????? ?????????? ?????? ????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ????? ???????? ????????? ??????????? ???????? ?????????? ??????? ???? ?????????? ?????? ????? ???????? ????????? ??????????? ???????? ????? ?????? ??????? ?????? ????? ???????? ????????? ??????????? ???????? ???????????? ????????
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, bersabda,
“Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir,
hendaklah dia berkata yang baik atau diam.
Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir,
janganlah dia mengganggu tetangganya.
Dan barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir,
hendaklah dia memuliakan tamunya”.
(HR. al-Bukhâri, no. 6475 dan Muslim no. 47)
Kalau kita perhatikan perbuatan sebagian umat ini, betapa banyak di antara mereka yang mengucapkan perkataan dosa, dusta, fitnah, caci maki dan semacamnya. Atau, bagaimana seseorang tidak peduli dengan tetangganya. Dia tidak peduli apakah tetangganya terganggu dengan musiknya, begadangnya, hasadnya, dan semacamnya.
Termasuk cabang iman adalah wanita memakai kerudung dan jilbab dengan benar.
Allâh Ta'âla berfirman:
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs al-Ahzâb/33:59)
Bahkan wanita-wanita yang tidak menutup auratnya dengan benar diancam dengan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam di bawah ini:
????????? ???? ?????? ???????? ???? ????????? ?????? ???????? ??????? ??????????? ????????? ??????????? ????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ?????????? ?????????? ???????????? ???????????? ????????? ???????????? ??? ?????????? ?????????? ????? ???????? ???????? ??????? ???????? ????????? ???? ????????? ????? ???????
Di antara penduduk neraka,
ada dua jenis (manusia) yang belum pernah aku lihat.
Pertama: Sekelompok laki-laki yang membawa cemeti-cemeti,
seperti ekor-ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya.
Kedua: Wanitawanita yang berpakaian, (tetapi) mereka telanjang.
Mereka menjauhkan orang lain (dari kebenaran),
mereka (sendiri juga) menjauhi (kebenaran).
Kepala mereka seperti punuk onta yang miring.
Para wanita ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga.
Padahal baunya akan didapati dari jarak yang sangat jauh.
(HR. Muslim no. 2128)
Di antara penafsiran Ulama terhadap sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, “Wanita-wanita yang berpakaian, (tetapi) telanjang”, yaitu: mereka menutupi sebagian tubuhnya, tetapi menampakkan sebagian lainnya untuk memamerkan kecantikan. Atau, mereka mengenakan pakaian yang tipis yang memperlihatkan warna kulitnya. Sehingga mereka itu berpakaian seperti tampak dari luar, namun mereka telanjang karena tidak menutupi aurat. Oleh karena itulah Ibnu Hajar al-Haitsâmi rahimahullâh menilai perbuatan wanita yang memakai pakaian yang transparan yang menampakkan warna kulitnya termasuk dosa besar! [6]
Namun, lihatlah banyak wanita di zaman ini –terutama para gadisnya– di jalan, pasar, kampus, mall, tempat rekreasi, dan lainnya, berlomba untuk menyerupai wanita-wanita yang disebutkan dalam hadits ini.
Semoga peringatan ini bermanfaat bagi kita semua, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat untuk orang-orang beriman. Ya Allâh Ta'âla tetapkanlah kami di atas jalan yang Engkau ridhai dan cintai. Amîn.
[1] |
Majmû’ Fatâwa 7/638 |
[2] |
Syarh Aqîdah Wâsithiyah, hlm. 231, karya Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf |
[3] |
Syarh Aqîdah Wâsithiyah, hlm: 60-61, karya Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf |
[4] |
Syarh Aqîdah Wâsithiyah, hlm: 61-62, karya Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf |
[5] |
Ushûl wa Dhawâbith fit Takfîr, hlm. 32-33, karya Syaikh ‘Abdul Lathîf bin ‘Abdurrahmân bin Hasan Alu Syaikh |
[6] |
Az-Zawâjir 1/127, 129 |
(Majalah-As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII)