RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2019. Pencalonan ini disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Rapat Kerja Nasional III PDIP di Bali, Jumat (23/2) kemarin.
Rakernas III PDIP ini mengangkat tema “Pola Pembangunan Berdikari untuk Indonesia Raya”. Dalam rakernas, Megawati menggunakan hak prerogatifnya yang diberikan dalam kongres partai, untuk menetapkan Jokowi kembali sebagai calon presiden 2019-2024.
"Tiba-tiba Ibu Mega berpidato mengatakan bahwa 'Saya punya otoritas, saya harus menentukan calon pemimpin. Saya sudah pikir kalau itu enggak deh, kalau itu kurang deh. Saya mau tentukan orangnya kurus kering.' Terus semuanya tepuk tangan dan berdiri," kata politisi PDIP Ganjar Pranowo, menirukan ucapan Megawati.
Jokowi menyambut gembira keputusan PDIP tersebut. ''Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan,'' kata Jokowi.
Terlebih, kata dia, tema Rakernas ke-3 adalah pola pembangunan berdikari untuk Indonesia Raya. Spirit berdikari inilah yang dipesankan Megawati terutama dalam hal pangan, energi, pertahanan, dan keuangan.
Kini, Jokowi dan PDIP akan melakukan safari politik untuk mencari cawapres yang mampu mengangkat elektabilitas yang lebih tinggi. Jokowi sudah menyimpan sejumlah nama yang akan digandengnya menjadi cawapres, namun belum bersedia mengumumkannya saat ini.
Dari data dan catatan yang dirilis Republika, sejumlah nama telah muncul ke permukaan sebagai cawapres potensial. Nama mereka muncul dari survei-survei yang dilakukan lembaga survei politik, baik LSI Denny JA, Median, Poltracking, Indo Barometer dan lainnya.
Nama Jusuf Kalla (JK) masih menjadi primadona untuk maju sebagai cawapres pada pilpres 2019 versi lembaga survei. JK dianggap tokoh yang mewakili Islam, luar Jawa, dan menjadi penyeimbang dalam politik nasional. JK juga memiliki catatan bagus dalam menangani konfilk-konflik.
Nama-nama lain yang muncul ada Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Sri Mulyani, Anis Matta, Muhaimin Iskandar, hingga Ahmad Heryawan. Ada juga nama Airlangga Hartato, Moeldoko, dan Susi Pudjiastuti.
Unsur Islam dan militer menjadi penting dalam memilih cawapres tidak hanya bagi Jokowi, namun bagi capres-capres lainnya juga. Satu lagi, unsur suara anak muda pun menjadi penentu dalam memilih cawapres yang mampu menarik suara generasi milenial.
Survei lembaga Poltracking menyebutkan, dalam survei pertanyaan terbuka soal cawapres, nama Jusuf Kalla menjadi yang tertinggi. Jusuf Kalla meraih elektabilitas 15 persen dan mengungguli nama-nama seperti mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo (4,2 persen) maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (4,1 persen).
Dalam pertanyaan semiterbuka pun Jusuf Kalla masih menduduki peringkat teratas yang dipilih responden sebagai cawapres 2019 Kalla mengantongi elektabilitas 15,9 persen, mengalahkan Gatot dengan elektabilitas 7,9 persen dan Agus Harimurti dengan 7,6 persen.
Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha menuturkan, jika nama Jusuf Kalla dimasukkan ke dalam pertanyaan, politikus senior Partai Golkar tersebut menjadi cawapres terkuat. "Pada pertanyaan semiterbuka dengan 28 kandidat cawapres, terdapat tujuh nama di atas empat persen," kata dia.
Survei juga dilakukan tanpa menyertakan nama Jusuf Kalla. Hasilnya, survei yang dilakukan Februari 2018 tersebut menempatkan enam cawapres potensial. Keenam nama cawapres potensial tersebut adalah AHY, Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, dan Khofifah Indar Parawansa.
Dalam pertanyaan 10 figur kandidat cawapres yang beredar di publik, AHY mendapatkan 12,4 persen, Anies Baswedan 12,1 persen, Gatot Nurmantyo 11,4 persen, Ridwan Kamil 10,4 persen, Muhaimin Iskandar 7,0 persen, dan Khofifah Indar Parawansa 5,5 persen.
Unsur militer
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengungkapkan, dari bursa cawapres berlatar belakang Islam, ada dua nama yang berpeluang dibanding tokoh yang lain. Keduanya adalah Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang memiliki popularitas sebesar 32,4 persen dan Gubernur NTB M Zainul Majdi, yang popularitasnya mencapai 13,9 persen.
Untuk wapres berlatar belakang militer, tiga nama yang paling menonjol adalah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan popularitas sebesar 71,2 persen. Gatot Nurmantyo memiliki popularitas 56,5 persen dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dengan popularitas 18,0 persen.
Dari bursa cawapres dari latar belakang parpol, menurut Adjie, ada dua nama yang muncul, yaitu Ketum Golkar Airlangga Hartarto dengan popularitas 25 persen dan Kepala BIN JBudi Gunawan yang punya popularitas 16 persen.
Dari kalangan profesional ada empat nama di sana. Ada dua nama berasal dari kabinet kerja Jokowi: Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani. Pada survei Indo Barometer yang diumumkan pada Desember lalu, figur militer menjadi pilihan mendampingi Jokowi. Survei Indo Barometer menempatkan Gatot
Nurmantyo sebagai calon wakil presiden paling potensial untuk Joko Widodo. Nama Gatot mengalahkan nama-nama lain untuk mendongkrak elektabilitas Jokowi melawan pasangan calon Prabowo Subianto-Anies Rasyid Baswedan. Dalam beberapa simulasi Jokowi dengan cawapres, pasangan Jokowi-Gatot berhasil meraih 47,9 persen.
Cawapres potensial Jokowi selanjutnya yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani. Jokowi-Sri Mulyani mendapatkan 43,4 persen. Selanjutnya, disusul berurutan Jokowi-Tito Karnavian 41,5 persen dan Jokowi-Budi Gunawan 41,2 persen.
Unsur Islam
Jurnalis senior Asia Times John Mcbeth sempat menulis Jokowi lebih ingin melanjutkan duetnya dengan Jusuf Kalla pada Pilpres 2019. Menurut Mcbeth, Jokowi butuh figur cawapres yang dekat dengan Islam dan memiliki elektabilitas tinggi. Nama yang paling kuat adalah JK.
Bahkan, sudah ada pembicaraan antara tim Jokowi dan JK menyangkut perpanjangan duet Jokowi-JK ini. Sampai ada skenario JK tetap maju tapi hanya sampai setengah jalan saja. JK sendiri merasa tidak punya hasrat lagi menjadi cawapres.
Jusuf Kalla sempat menepis kabar dirinya akan kembali maju dalam bursa pemilihan wakil presiden pada 2019. Dia menegaskan tidak akan maju lagi dalam pilpres 2019 karena mempertimbangkan usia. JK justru mendorong para kader-kader muda untuk memberikan sumbangsih kepada bangsa dalam pemilihan presiden 2019.
Adapun dia mendukung Presiden Joko Widodo untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden di 2019 mendatang karena dinilai masih mampu. "Biarkan yang lebih muda, Pak Jokowi masih muda dibanding saya," kata JK.
JK secara tegas menyatakan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019. Namun, JK belum secara terperinci membeberkan bentuk dukungan tersebut.
Kini, Jokowi dihadapkan pada kebutuhan dan syarat dasar dalam memilih cawapresnya: apakah ia butuh yang berunsur militer, yang berwarna Islam, atau cawapres yang mampu menarik anak muda yang memiliki tingkat suara tinggi.
Sumber: Republika
Editor: Nandra F Piliang