RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Penyidikan kasus dugaan kredit fiktif di Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Pekanbaru ke PT Riau Barito Jaya (BRJ), dengan tersangka Dewi Farni Djafaar dan Tengku Darmizon, terkesan jalan di tempat. Belum adanya izin dari Majelis Kehormatan Kenotariatan (MKN) menjadi dalih penyidik belum melanjutkan proses penyidikan.
Adanya izin dari MKN itu diperlukan untuk memeriksa Dewi Farni Djaafar yang berprofesi sebagai notaris. "Kita sudah bersurat ke MKN, tapi belum ada jawaban resmi untuk memberikan izin memeriksa tersangka DFD (Dewi Farni Djaafar)," ungkap Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Guntur Aryo Tejo, Rabu (21/2/2018).
Adanya keterangan tersangka Dewi Farni Djaafar diperlukan untuk melengkapi berkas perkara. Hal inilah yang membuat proses penyidikan tidak memiliki kepastian hukum. ''Kendalanya, memang karena surat dari MKN belum keluar. Itu yang sedang kita tunggu,'' kata Guntur.
Sementara terhadap tersangka lainnya, Tengku Darmizon yang merupakan mantan pegawai Badan Pertahanan Nasional (BPN), Guntur mengatakan proses penyidikan dilakukan bersamaan dengan tersangka Dewi Farni.
''Kalau kita paksakan limpahkan berkasnya, pastinya nanti juga dikembalikan. Hal itu karena pemeriksaan terhadap notaris (Dewi Farni Djaafar) belum dilakukan,'' pungkas Guntur.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Tinggi Riau (Kejati) Riau mengembalikan berkas perkara dua tersangka tersebut ke penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau dengan petunjuk atau P19. Pengembalian ini, terkait perlunya dilakukan pemeriksaan terhadap Dewi Farni Djaafar selaku notaris yang mengeluarkan cover note agunan dari PT BRJ pada tahun 2007 dan tahun 2008. Sementara, Tengku Darmizon berperan mengeluarkan surat tanah yang menjadi acuan dari Dewi Farni.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat penyidik dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perlu diketahui, dalam kasus yang merugikan negara sekitar Rp37 miliar ini, enam tersangka yang telah divonis bersalah. Di antaranya, Esron Natitupulu sebagai Direktur Utama PT BRJ, tiga pegawai BNI Atok Yudianto, ABC Manurung, dan Dedi Syahputra.
Kasus ini juga menjerat dua mantan pimpinan wilayah BNI Wilayah 02, yaitu Mulyawarman dan Ahmad Fauzi. Kredit ini diajukan secara bertahap, yaitu tahun 2007 Rp17 miliar dan tahun 2008 sebesar Rp23 miliar.
Kasus ini bermula sewaktu Direktur PT BRJ, Esron Napitupulu, mengajukan kredit Rp40 miliar ke BNI 46 Cabang Pekanbaru. Sebagai agunan, Esron melampirkan beberapa surat tanah di Kabupaten Kampar, Pelalawan dan Kuantan Singingi (Kuansing).
Tanpa tinjauan di lapangan, pegawai BNI bernama Atok, Dedi Syahputra dan AB Manurung menyetujui kredit. Hasil penyelidikan, sebagian tanah yang diagunkan tidak ada.
Dalam pengembangan kasus ini terungkap, kredit yang diajukan Esron bukan untuk perkebunan sawit. Uang itu digunakannya membangun klinik kecantikan, membeli beberapa rumah dan toko serta hektare tanah di daerah Riau.
Reporter: Dodi Ferdian
Editor: Rico Mardianto