RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Centre Reseach & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai langkah partai politik mengusung sejumlah purnawirawan TNI dan Polri sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 menunjukkan partai politik gagal melakukan kaderisasi.
"Ini membuktikan parpol dan sipil telah gagal melakukan kaderisasi," kata Pangi Chaniago, Sabtu (6/1/2018) menanggapi munculnya sejumlah purnawirawan TNI dan Polri yang diusung partai polilik sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018.
Malah ada perwira tinggi Polri aktif ditarik-tarik salah satu parpol besar untuk diusung sebagai calon kepala daerah yang jumlah pemilihnya paling besar di tanah air. Umumnya, mereka itu dicalonkan sebagai gubernur seperti untuk Pilgub Jawa Barat dan Kalimantan Timur.
"Belakangan ini muncul tren dimana parpol mengambil jalan pintas dengan mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik praktis. Ini kesannya parpol tidak yakin mengusung calon dari kalangan internal atau kadernya sendiri," kata Ipang.
Padahal kata Ipang, begitu dia akrab disapa, salah satu tugas pokok partai politik sesuai UU Parpol adalah melakukan kaderisasi. Selain itu menurut pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, juga akibat ketidakmampuan otoritas sipil, baik dalam memerintah dan menjalankan roda pemerintahan.
Ambisi TNI dan Polri ikut Pilkada semakin kuat belakangan saat parpol abai dalam melakukan kaderisasi dan tak mau repot sehingga mengambil jalan pintas dengan menarik mereka yang sudah kembali ke barak ke arena politik praktis.
Purnawirawan maupun perwira tinggi turun kembali ke politik praktis, lanjut laki-laki jebolan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini, ada fenomena split ticket voting dimana parpol lebih menonjolkan figur dibanding kemampuan yang dimiliki tokoh bersangkutan.
Padahal, kata Ipang, ada kader parpol yang punya kemampuan kerja bagus. Namun, karena tidak populer dan mungkin juga tidak mempunyai uang sebagai modal, yang bersangkutan tidak mau mencalonkan dirinya sebagai kandidat.
"Jadi, parpol memang tidak mau repot dengan urusan kaderisasi dan lebih suka mengambil jalan pintas dengan melakukan ‘outsourcing” politik dengan mengusung jenderal TNI-Polri aktif atau purnawirawan dari pada para kader yang lahir dari rahim parpol tersebut," tegasnya.
Sebenarnya menurut dia, jauh lebih baik parpol memberi boarding pass kepada kader dari pada calon eksternal parpol. “Dialektika ‘meritokrasi’ menjadi rusak, kenapa parpol tidak menjadikan kadernya sendiri yang kualitas dan loyalitasnya kepada partai tidak perlu diragukan lagi,” ujarnya.
Menurut Pangi, ini adalah masa depan parpol bersangkutan. Karena itu, wajar kalau sekarang menguat fenomena deparpolisasi karena ulah dari parpol yang tidak menghormati kadernya sendiri. "Parpol lebih condong mengambil jalan pintas,” kata dia.
Menurut dia, ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah bukan kader parpol bersangkutan. Pertama, pengurus partai tentu sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal bila dibandingkan bila calon tersebut merupakan kader parpol bersangkutan. Kedua, bila dari eksternal parpol, potensi lompat pagar atau istlah populernya ‘kutu loncat’ juga semakin besar.
Lebih jauh dikatakan, pada saat citra institusi TNI positif karena menjadi lembaga yang paling dipercaya rakyat saat ini, parpol memanfaatkan momentum itu mengusung jenderal aktif maupun purnawirawan dengan harapan dapat memenangkan perebutan kursi orang nomor satu di daerah tersebut.
Dia mengakui, kelebihan pemimpin dari TNI maupun Polri walau sudah purnawirawan adalah soal ketegasan dan disiplin. Namun, ada kelemahan sebab karakter pemimpin dari TNI maupun Polri yakni berkarakter komando. "Bila dia dipercaya memimpin sipil, muncul bagaimana mereka itu mampu menyesuaikan diri dengan ritme dan tata cara karja sipil, kepemimpinan dengan garis putus-putus, egalieter dan berbasis konsensus," katanya.
Dikatakan, demokrasi yang sudah diambil 20 tahun lalu memang memberi peluang kepada setiap warga negara untuk ikut berkompetisi termasuk dalam pemilihan pemimpin. "Saya tidak mempersoalkan purnawirawan karena mereka juga warga negara yang mempunyai hak memilih dan dipilih. Yang jadi soal adalah TNI dan Polri yang masih aktif. Mereka itu belum wajib pensiun," ujar Ipang.
Dijelaskan, terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru di republik ini. Saat demokrasi terpimpin di era pemerintahan Soekarno, ada segi tiga emas kekuatan politik di tanah air yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat.
"Namun, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang, yaitu angkatan darat. Sejak itu, militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan Sekretaris Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar)," jelasnya.
Bahkan kala itu, para pemimpin yang duduk di Sekber tidak mengakui bahwa Golkar itu adalah partai politik. Namun, mereka mendukung pemerintahan yang berkuasa. Mesin Golkar waktu itu adalah para jenderal. Karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer.
Karena itu, kata Pangi, parpol jangan coba-coba bermain ‘mata’ dengan prajurit aktif, menarik atau menggoda TNI masuk ke gelanggang politik termasuk Aparatur Sipin Negara (ASN) ke ranah politik praktis.
“Kalau itu dilakukan parpol, ini adalah pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Jadi, keterlibatan TNI/Polri dalam politik praktis patut kita curigai,” kata dia.
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang