Perjalanan Umrah selalu ada hikmah dan makna pada setiap orang. Begitu pun dengan Ardi. Telah lama ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya, selalu ada gejolak mempertanyakan hidupnya. Bahkan shalat pun jarang ditunaikan. Hingga pada suatu titik, Ardi berpikir untuk Umrah. Alhamdulillah, niatnya terlaksana, ia berangkat bersama dengan ayah dan ibunya pada tahun 2014. Ia menyayangkan istrinya tidak bisa ikut, karena begitu banyak pekerjaan.
Sesampai di Madinah pukul 10 Malam waktu setempat, Ia langsung istirahat. Paginya, tak biasanya Ardi terbangun saat adzan Subuh. Tiba-tiba saja ia bergegas menuju Masjid Nabawi. Ardi terkesima, menuju ke Masjid Nabawi, ternyata ada ribuan orang yang bangun untuk shalat Subuh. Bahkan burung-burung pun beterbangan tepat di atas masjid.
Sejak hari pertama, banyak kejadian yang ia alami. Mulai dari, tiba-tiba saja tidak ada internet di hotel, tidak bisa belanja, sampai soal jam tangan. Ia memang telah diberitahu saat Umroh, jangan berkata sembarangan. Lalu, karena di Hotel tidak ada wifi, Ardi jalan-jalan di sekitar Madinah, ia minum kopi di sebuah café ternama. Perhatiannya tertuju kebanyak orang. Dalam hati, ia berguman ”itu orang mau ibadah apa mau shoping”. Kejadian di luar nalar pun terjadi. Sejak terpikir seperti itu, Arti tidak bisa berbelanja selama di Madinah, masalahnya tiba-tiba saja ia tidak bisa menukarkan uang rupiahnya. Hal yang paling menyesakan, ia tidak bisa membeli jam tangan yang ia sukai. Tetapi kejadian itu pun tak membuatnya istigfar.
Kemudian, Ardi mengalami lagi kejadian yang membuat merinding. Usai shalat Dzuhur, Ardi maju ke shaf depan. Tak disangka ada seseorang yang mengajaknya mengaji. Selama ini ia memang saat shalat hanya membaca Surat Al Ikhlas. Dengan terbata-bata ia membaca Alquran di depan orang itu, dan memang banyak sekali yang harus ia perbaiki bacaan Quraan-nya. Tetapi, keesokannya Ardi menghindari pengajian, ia lewat pintu yang lain. Betapa kagetnya Ardi, ia tetap bertemu dengan pengajian itu. Sejak mengikuti pengajian itu, bacaaan Quran Ardi jadi lebih baik. Ia pun bersyukur, sungguh ini anugerah Allah Ta’ala.
Lain lagi ceritanya saat Ardi tiba di Kota Mekkah. Ardi terdiam cukup lama, saat menginjakan kaki di Masjidil Haram. Tubuhnya bergetar. Tak terasa air matanya menetes. Inilah momen yang begitu mengharukan, baru kali pertama ini, ia merasa begitu rapuh, tak berdaya. Ia merasa, dirinya yang sebenarnya tidak bisa ditutupi lagi. Ia betul-betul merasakan Allah Ta’ala sedang menatapnya, melihat semua masa lalunya.
Hari-hari di kota ini pun ia jumpai segala kejadian yang penuh hikmah. Ia tidak menyangka ternyata orang Arab juga ramah. Banyak yang memberinya makanan, minuman, atau apapun. Tidak seperti anggapannya selama ini. Iya pun tahu, disini pun Allah akan kasih sesuatu yang kita pikirkan, langsung, bahkan tidak menunggu besok.
Saat melihat begitu banyak orang, dalam hatinya terbersit, “disini mah kayaknya enggak ada orang Tiongkok,”. Saat itu juga, ia menatap ke arah yang lain, ternyata melihat begitu banyak orang Tiongkok yang Thawaf. Bahkan, ketika ia yakin tidak bakal kesasar karena punya handphone yang ada GPS, ada peta, tetap saja Ardi kesasar di dalam masjid selama beberapa jam.
Namun, ada satu kejadian yang membuatnya betul-betul bertaubat. Ketika ia melihat langsung kebesaran Allah. Di depan Kakbah itu, ia melihat seorang perempuan bersama rombongannya. Perempuan itu menangis sesegukan bahkan segala cara dilakukan, sujud, mengangkat tangan. Akhirnya Ardi mengetahui penyebab perempuan itu menangis, karena dia tidak bisa melihat Kakbah. Ia lalu menengok, menghadap Kakbah. Ya Rabb…, sambil sujud. Ardi menangis dalam sujudnya, ia berpikir, dirinya yang ia tahu betul banyak berbuat dosa, tapi bisa melihat Kakbah. Bahkan ia bisa menyentuh Kakbah. Bisa mendoakan istri dan semua orang yang ia cintai. Sungguh saat itu Ardi merasa seluruh dosa terpampang dihadapannya. Tapi, ia bisa melihat kemurahan Allah, pengambunan-Nya.
Ardi betul-betul merasa bersyukur dengan semua kejadian yang ia lewati di Madinah dan Mekkah. Umrohnya ini tak bisa ia lupakan. Umrahnya ini adalah momen terbaik dalam hidupnya. Ia menatap ayah dan ibunya, bahagia sekali.
Kini, yang ia rasakan hanya rindu pada Mekkah, Madinah, dan semua kebaikan orang-orangnya, suasananya, khusuknya, dan segala kejadian rahasia Allah Ta’ala. Suasana lain, yang sangat membekas dalam ingatannya, adalah betapa semua orang taat kepada Allah, saat waktu shalat tiba, semua aktivitas terhenti, toko tutup, ditinggalkan begitu saja. Sepanjang jalan, orang mengajak untuk shalat. Semuanya tersenyum. Sungguh, Ardi tak ingin memori Umroh ini terhapus. Sepanjang jalan menuju bandara, Ardi terus berdoa, “Ya Rabb, izinkan saya kembali ke Tanah Suci ini. Berjumpa dengan Mu, Ya Mujibssaailiin.”*