JAKARTA, RIAUMANDIRI.co - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyadapan karena dinilai telah melanggar Hak Azasi Manusia.
Karena itu, menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini dianggap ilegal.
Menurut Fahri, semua OTT yang dilakukan KPK merupakan hasil dari penyadapan, karena PP penyadapan sudah dibatalkan MK, semua OTT KPK ilegal.
“Argumen saya UU ITE mengandung Pasal 31 ayat D, di pasal 31 ayat D UU ITE, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE mengatakan bahwa penyadapan diatur melalui PP,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Lalu, sambung Fahri, Menteri Komunikasi dan Informasi pada waktu itu, Tifatul Sembiring menyiapkan PP dan dibawa ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Begitu PP ini mau disahkan, para aktivis, KPK dan kawan-kawan ini takut, bahaya ini PP. Karena PP ini bisa menyebabkan kewenangan sadap KPK bisa tidak bebas, karena ada prosedur, prosedurnya mau dibikin mengikat kalo dilanggar, bisa dianggap melanggar dan bisa kena hukum,” urainya.
“On the way ini kepada presiden, mereka melakukan judicial review terhadap pasal 31 ayat D UU ITE yang lama. Akhirnya MK bersidang. 24 Februari 2011 bersidang lalu mengatakan membatalkan pasal 31 Ayat D UU ITE dengan pertimbangan, penyadapan adalah pelanggaran HAM, oleh sebab itu tidak boleh diatur dengan ketentuan yang di bawah UU,” tambahnya.
Menurut legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat ini, yang mungkin mengatur penyadapan ada dua, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan UU lama.
“UU lama pikiran saya pemerintah akan membikin Perppu, lalu Perppu tidak dibuat, maka berlandas kepada keputusan MK itu. Tidak ada lagi dasar bagi penyadapan, makanya anda boleh cek tuh ke Kementerian Kominfo, ngga ada audit terhadap KPK sekarang, sampe hari ini ngga ada lagi audit, karena ngga ada dasarnya,” papar Fahri.
Tak hanya itu, dia juga memberi catatan, di tengah jalan KPK mengusulkan perubahan atau UU ITE menjadi UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Disana disebutkan, pasal 31:(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan UU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang. ”Jadi dasar UU itu ditegaskan kembali. Pada amandemen UU ITE. Sekarang bagaimana sikap KPK? Sikap KPK bukannya tunduk kepada KUHAP, karena ketentuan penyadapan itu ada juga di dalam KUHAP, yaitu terkait izin pengadilan,” terang Fahri.
Menurutnya, KPK menggunakan pasal di dalam UU KPK tentang adanya hak menyadap dengan cara membuat SOP intern KPK, tata cara penyadapan. “Padahal SOP itu di mana-mana dia bukan regelling, dia ga boleh mengatur hidup orang di luar, dia hanya mengatur orang di dalam,” tegas Fahri.
Dalam penyadapan, ujar dia, mengatur hak orang di luar, siapa boleh disadap, kapan dia boleh disadap, apa bukti awal yang menyebabkan dia disadap, berapa lama dia boleh disadap.
“Waktu ditampilkan di pengadilan, apa yang boleh ditampilkan, siapa yang ngedit dan seterusnya, oleh KPK itu tidak ada, dia bikin lah SOP,” ujar Fahri.
Dia menambahkan, sekarang pertanyaannya adalah apakah SOP ini boleh, kalo menurut MK tidak boleh, karena dia harus selevel UU, aturan penyadapan itu.
“Nah ini lah yang saya kira menjadi problem di kita ini, sehingga kemudian kita ngga tau tuh tiba-tiba si A ditangkap, si B ditangkap,” tandas Fahri.
“Ini kan operasi bawah tanah semua, kayak misalnya kemaren Panitera PN Jaksel itu, kapan dia disadap, terkait apa dia disadap, sampe sekarang kita ngga tau. Dan ini hampir 24 jam lho KPK harus memutuskan, tapi kita ngga tau apa yang terjadi, tiba-tiba orang itu ditangkap. Saya kira ini ada problem di sini yang harus diklirkan gitu,” katanya.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 23 Agustus 2017
Reporter: Surya Irawan
Editor: Nandra F Piliang