Rencana eksekusi periode kedua terhadap dua terpidana mati berkewarganegaraan Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam kasus “Bali Nine” sudah lama dikumandangkan. Namun sampai hari ini nyata-nyatanya juga belum dieksekusi. Hal yang berbeda dibandingkan dengan eksekusi warga negara Belanda dan Brasil beberapa waktu yang lalu. Di mana rencana eksekusi dengan eksekusinya tidak memakan waktu yang lama.
Mengenai penundaan eksekusi tersebut, sulit kalau tidak dikaitkan dengan gugatan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap surat keputusan (SK) Presiden Jokowi perihal penolakan grasi tersebut, kendatipun di beberapa media Jaksa Agung selalu mengatakan penundaan itu karena alasan teknis. Kalau alasan teknis, saya rasa tentunya tidak akan memakan waktu yang begitu lama. Sebab sebelumnya kuasa hukum dari pihak Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, Todung Mulya Lubis meminta kepada Jaksa Agung untuk menunda eksekusi dan menghormati proses hukum di PTUN.
Menariknya, gugatan dua terpidana mati berkewarganegaraan Australia tersebut, Selasa tertanggal 24/2 dimentahkan oleh PTUN Jakarta. Hakim tunggal PTUN Hendro Puspito menyatakan bahwa PTUN tidak berwenang untuk mengadili SK itu. Padahal objek PTUN adalah SK.
Untuk itu, Todung Mulya Lubis akan mengajukan upaya hukum berupa perlawan terhadap putusan Hakim Hendro Puspito tersebut. Sebab Todung berpandangan bahwa SK tersebut merupakan objek PTUN. Bagaimana pandangan hukum dalam hal ini? Benarkah SK tersebut merupakan objek dari PTUN? Atau jangan-jangan hanya akal-akalan mereka untuk menunda eksekusi tersebut.
Untuk menjawab itu semua, perlu dijelaskan terlebih dahulu fungsi presiden di republik ini.
Presiden di Indonesia memerankan dua fungsi, yaitu presiden dalam kapasitas sebagai kepala pemerintahan atau pejabat tata usaha negara (TUN) dan presiden sebagai kepala negara. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan yang kita bangun adalah sistem pemerintahan presidensial. Berbeda halnya di dalam sistem parlementer, misalkan di Inggris. Dimana kepala pemerintahan dan kepala negaranya terpisah. Artinya tidak melekat pada satu individu. Ratu sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang perdana menteri.
Sebagai kepala pemerintahan atau pejabat TUN apakah itu namanya presiden maupun perdana menteri berada pada ranah might be wrong. Ini adalah ranah di mana seorang presiden atau perdana menteri bisa salah dan bisa digugat atau dituntut secara hukum. Sebab dalam hal ini presiden atau perdana menteri yang menjalankan roda pemerintahan. Dan kewenangannya ini terpisah dengan kewenangan lembaga atau institusi lainnya. Oleh karenanya, seorang presiden atau perdana menteri dalam kapasitas sebagai kepala pemerintahan tidak boleh mencampuri urusan lembaga lainnya atau yang bukan kewenangannya, termasuklah mencampuri urusan kewenangan penegak hukum.
Berbeda halnya sebagai kepala negara. Apakah itu menggunakan nomenklatur presiden atau ratu atu raja, ranahya itu adalah ranah can do no wrong. Ranah ini dimana presiden atau ratu atau raja tidak bisa salah dan tidak bisa digugat atau dituntut. Mengapa? Karena sebagai kepala negara kedudukannya itu hanyalah bersifat simbolik atau penyatu. Misalkan memberikan grasi, amnesti, abolisi, grasi, mengangkat duta besar, menerima surat-surat kepercayaan dari negara lain, menyatakan perang dan memberi restu untuk perang, menyatakan menyerah pada musuh, menyatakan keadaan negara sedang darurat atau genting, dan lain-lainnya dalam kedudukannya sebagai simbol negara. Jadi presiden atau ratu atau raja sebagai kepala pemerintahan, posisinya itu bukanlah sebagai kepala eksekutif, atau kepala legislatif, atau kepala yudikatif. Namun posisinya itu adalah di atas eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Berdasarkan paparan di atas, SK Presiden perihal penolakan grasi adalah presiden dalam kapasitas sebagai kepala negara, bukan sebagai pejabat TUN. Sebab Andrew Chan dan Myuran Sukumaran sebelumnya sudah dinyatakan bersalah dengan vonis mati oleh Mahkamah Agung (MA) sampai pada upaya hukum terakhir di lingkungan MA, yaitu peninjaaun kembali. Karena tidak ada upaya hukum lagi yang bisa ditempuh, maka mereka memohon grasi ke presiden. Dan jalur ini bukan lagi jalur hukum sebenarnya yang berbicara benar atau salah, namun berdasarkan “subjektifitas” Presiden sebagai kepala negara. Faktanya adalah presiden menolak untuk memberikan grasi itu.
Jadi, kendatipun penokan grasi tersebut dengan menggunakan SK sebagai baju hukumnya, maka SK itu tidak sama dengan SK yang dikeluarkan oleh presiden dalam kapasitas sebagai sebagai pejabat TUN kendatipun unsur-unsur SK nya sama seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 angka (9) UU 51/2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Misalkan SK pemberhentian Kapolri, SK pengangkatan hakim konstitusi yang berasal dari presiden, dan sebagainya.
Di samping itu, Pasal 2 UU 9/2004 Tentang Perubahan Atas UU 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: ..... 5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ....”. Pertanyaannya adalah bukankah SK penolakan grasi tersebut dikeluarkan atas dasar putusan MA?
Oleh karenanya, putusan hakim Hendro Puspito beberapa hari yang lalu itu, bukannya tanpa catatan sejarah. Sebab di tahun 2012 yang lalu ketika presiden SBY menerima grasi Schapelle Leigh Corby, dan Peter Achim Franz Grobmaan dalam kasus narkotika juga. SK presiden itu digugat oleh Gerakan Nasional Anti-Narkotika ke PTUN. Putusan hakim ketika itu tertanggal 4 Juli 2012 adalah tidak menerima, bukan menolak.
Harus diingat putusan tidak menerima dan menolak itu sangatlah berbeda. Kendatipun orang yang bukan dari kalangan hukum mengatakan itu sama saja. Kalau tidak menerima, berarti gugatannya bisa karena bukan kewenangan pengadilan, syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi, tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak, apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh SK, atau bisa juga gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Dalam putusan Corby dan Grobmaan tersebut, dimana hakim menyatakan bahwa SK Presiden SBY tersebut bukanlah kewenangan PTUN. Sedangkan menolak berarti hakim berwenang untuk mengadili, namun gugatan tersebut tidak terbukti.
Berdasarkan paparan di atas, putusan hakim tunggal PTUN Hendro Puspito yang menyatakan bahwa SK grasi bukanlah termasuk SK yang dimaksud oleh Pasal 1 angka (9) UU 51/2009 adalah putusan hakim yang berkelas. Sebab hakim Hendro melakukan pemaknaan yang tepat. Mana SK yang merupakan objek PTUN dan mana yang bukan.***
Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UIR.