JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menilai sistem pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) perlu diperbaiki, karena pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana di Lapas selama ini tidak membuah hasil yang lebih baik.
"Berdasarkan pembicaraan saya dengan Jimly Asshiddiqie, ternyata 80 persen mereka yang keluar dari lapas malah melakukan kejahatan yang lebih besar," kata Zulkifli Hasan, Senin (8/5), menanggapi kaburnya ratusan narapidana dari Lapas Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, Jumat (5/5) lalu.
Seharusnya kata Zulkifli Hasan, mereka yang keluar dari lapas itu akan berprilaku lebih baik karena mereka telah dilakukan pembinaan selama ditahan di lapas. "Ini kan tidak, mereka yang ditahan karena kasus memakai narkoba tapi setelah keluar lapas malah menjadi pengedar narkoba," kata Zulkifli.
Karena itu kata Zulkifli yang juga Ketua Umum PAN, perlu dilakukan perbaikan sistem di lapas. Salah satunya diusulkannya adalah mereka yang terkait dengan kasus pemakai narkoba tidak usah ditahan, tapi dilakukan rehabilitasi. "Ini juga akan mengurangi penghuni lapas yang selama ini sudah melebihi kapasitas," sarannya.
Buka Fakta Baru
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al Habsy, mengatakan, kasus kaburnya napi Lapas Sialang Bungkuk Pekanbaru itu membuka fakta baru seperti diungkapkan para tahanan yang sudah tertangkap aparat di lapangan.
Menurut Aboe, dari video yang beredar terungkap banyak hal yang dikeluhkan para tahanan. Di antaranya waktu salat yang dipersulit. "Bahkan ada yang bilang dilarang, kalaupun dikasih waktu sudah lewat dari jadwal salat yang ada dan maraknya pungutan liar," kata Aboe, Senin (8/5).
Menurut Aboe, masalah yang terjadi di lapas tersebut merupakan persoalan serius yang harus ditangani Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham I Wayan Duaak. "Logikanya bisa masuk akal, jika kemudian mereka melarikan diri lantaran dipersulit untuk beribadah. Namun sekali lagi ini perlu dicek ulang," kata Aboe.
Dikatakan, persoalan kebebasan beribadah adalah faktor fundamental yang harus diberikan kepada warga binaan. Pada sisi lain, keberadaan mereka di lapas adalah sebagai warga binaan yang dalam proses memperbaiki diri. "Seharusnya yang dilakukan adalah mengajak mereka untuk kembali mendekatkan diri dengan agama dan Tuhan. Bukan malah mempersulit mereka untuk beribadah," tegasnya.
Penyebab lain kaburnya tahanan adalah dugaan maraknya pungutan liar, seperti yang dikeluhkan para keluarga napi. "Ada informasi, sekali kunjungan mereka dikenakan biaya Rp 25 ribu, kemudian uang mingguan Rp 10 ribu, uang air dan belum lagi kalau menitip makanan. Jika tidak ada uang, informasinya makanan akan dibuang," sesalnya.
Belum lagi, tambah dia, kalau ada yang sakit perlu biaya lagi untuk memberikan obat kepada warga binaan. Ada juga uang kamar, jika ingin enak bayar antara Rp 3 hingga Rp 5 juta. "Kalau tak bayar bisa-bisa mereka tidur di toilet," paparnya.
Menurut Aboe, informasi ini juga harus ditanggapi secara serius oleh Dirjen Pas. Sebab, dia menyatakan, selama ini Dirjen Pas punya komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan pungli. Selama ini sebagai mitra kerja, Komisi III selalu memberikan dukungan atas langkah pemberantasan pungli di lapas.
"Khusus untuk kasus Rutan Sialang Bungkuk ini kami secara intens akan melakukan pengawasan, untuk memastikan bahwa langkah terbaik sudah diambil oleh Kemenkumham," pungkasnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Sarifuddin Suding dari Partai Hanura juga menyoroti kaburnya ratusan pesakitan dari Rumah Tahanan Pekanbaru, Riau itu. Menurut Suding, persoalan lembaga pemasyarakatan maupun rutan merupakan hal krusial yang mesti dibenahi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Sampai sekarang pun tidak ada titik-titik perbaikan," kata Suding di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (8/5).
Menurut dia, hampir setiap hari masyarakat selalu mendengar berbagai persoalan di lapas. "Bahkan dari hari ke hari kita sering dengar permasalahan-permasalahan di lapas," tegasnya.
Menurut dia, permasalahan yang muncul hampir sama saja. Yakni, masalah perlakuan diskriminatif, dugaan pungutan liar, kelebihan kapasitas. "Itu dari dulu ya dan sampai sekarang belum ada titik penyelesaian dari Kemenkumham," ujar Suding.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 9 Mei 2017
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang