Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla seakan tidak pernah berhenti dengan persoalan. Mulai dari penempatan orang-orang di kabinet, perseteruan Koaliasi Merah Putih (KMP)-Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dualisme kepengurusan partai, kenaikan harga BBM, KPK vs Polri dan sekarang soal beras sampai rencana pembatasan konsumen gas 3 Kg.
Pertanyaan saya sangat sederhana, mana yang lebih mengancam stabilitas negara? Apakah kisruh politik atau beras dan gas rumah tangga? Tentu saja jawabannya akan sangat relatif tergantung siapa yang bicara dalam kapasitas dan apa kepentingannya. Bagi masyarakat menengah ke atas mungkin beras dan gas ini tidak terlalu memusingkan. Sebaliknya bagi masyarakat miskin dan hampir miskin ini persoalan yang cukup serius karena mereka harus mencari tambahan income supaya bisa bertahan hidup.
Kalau kita urai di mana titik kekeliruannya, apakah kenaikan beras ini akibat kebijakan yang diambil pemerintah kurang tepat atau permainan para spekulan yang ingin nimbrung di tengah selalu menghangatnya kehidupan politik di istana negara dan gedung DPR/MPR. Seperti apa yang disampaikan ekonom dari IPMI International Business School Jimmy M Rifai Gani (detik.com), ada sekitar 5-8 pedagang beras berskala besar yang mampu memengaruhi harga beras di dalam negeri. Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan. Begitupun Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel sempat menuding ada mafia beras yang menyebabkan harga beras melonjak hingga 30% di Jakarta dan sekitarnya.
Ini artinya kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Wapres JK (detik.com) menegaskan Bulog bertugas memastikan stok beras cukup. Beras dibeli ketika panen atau level harga rendah dan menggelontorkan beras dengan harga murah saat harga di pasar tinggi. Stok beras yang berada di Bulog sekarang adalah 1,4 juta ton. Dengan panen raya yang akan terjadi dalam 3 bulan mendatang (Maret-Mei), stok beras akan kembali terisi sampai 3 juta ton. Dengan demikian, maka lonjakan harga beras bisa diantisipasi. Berbagai upaya penimbunan oleh pedagang nakal juga dapat teratasi.
Ini mungkin juga berarti ada yang kurang tepat dari kebijakan dan regulasi pemerintah masa lalu dan saat ini terkait swasembada beras. Sebagai anak petani yang masa kecilnya banyak menghabiskan waktu di tengah pesawahan, saya tidak ingin bicara bagaimana bangsa ini bisa swasembada beras. Tapi dalam kesempatan ini saya ingin melihat kebijakan politik pemerintah terkait swasembada beras dari sisi komunikasi politiknya. Yaitu pemerintah harus tegas. Kenapa harus tegas karena masyarakat butuh kepastian sehingga dengan demikian, masyarakat dan pelaku pasar percaya kepada pemerintah.
Bentuk kepastian itu misalnya regulasi terkait penanggulangan pembelian gabah di saat panen tiba. Pemerintah harus bisa menjamin kepada petani kalau hasil panen mereka akan dibeli dengan harga wajar dan memberi keuntungan bagi mereka. Dengan demikian, gairah bertani akan meningkat dan secara tidak langsung akan menguatkan bangsa ini sebagai negara agraris dengan hasil pertanian sebagai uanggulannya.
Demikian juga dengan infrastruktur pendukungnya. Pemerintah harus tegas dan berani untuk membuat kebijakan yang pro dengan masyarakat petani. Misalnya membuat waduk penyangga air hujan untuk mendukung pengairan pesawahan. Dengan demikian, meskipun musim kemarau tiba pesawahan tetap berair. Intinya pemerintah harus punya ketegasan dalam hal apapun, tidak hanya soal beras. Kalau tidak, ya besok-besok dan seterusnya persoalannya muncul-muncul lagi. Wallahua'lam bishawab.***
Wartawan Haluan Riau.