Pasca-reformasi Indonesia mengalami euforia demokrasi. Semuanya bebas berbicara atas nama demokrasi. Apa yang disuarakan tidak menjadi penting walaupun menabrak esensi demokrasi itu sendiri. Bagai anak yang baru belajar berjalan, semuanya diterobos dan dilalui. Menabrak dinding dan terjatuh menjadi biasa, sebab berjalan bagi anak adalah puncak kegembiraan yang tiada tara. Orientasinya hanya satu, yakni kehendaknya tercapai. Persoalan langkahnya tersebut menghancurkan barang-barang di sekelilingnya menjadi tak penting.
Pemandangan ini sekarang mulai jadi tontonan demokrasi kita. Bila tujuan politik tidak tecapai, dengan mudahnya atas nama demokrasi membuat “lapangan” demokrasi baru, atau yang sedang populer sekarang demokrasi tandingan. Kita bisa melihat bagaiman pasca-pilpres 2014 muncul beberapa institusi tandingan. Dimulai dengan DPR tandingan, ketika kubu Koalisi Indonesia Hebat ( KIH) kalah dan galau melihat dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai pimpinan MPR/DPR dan alat kelengkapan. Kemudian berlanjut pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terbelah pada dualisme kepemimpinan. Dan terakhir Partai Golkar, antara kubu Aburizal Bakrie dan Presidium Penyelamat Partai pimpinan Agung Laksono. Semuanya berbicara atas nama demokrasi dan mengatakan merekalah yang benar.
Apa sesungguhnya yang terjadi dalam alam demokrasi politik Indonesia pasca-pilpres. Benarkah kondisi politik dan demokrasi kita seakan menapaki dan menelusuri lorong gelap, tanpa ujung dan cahaya? Setidaknya ada beberapa alasan kenapa hal ini terjadi.
Pertama, demokrasi nir-makna, artinya demokrasi hanya dipahami sebatas bebas bersuara, berekspresi dan menyatakan kehendak tapi kosong makna. Akhirnya melahirkan apa yang dinamakan pragmatisme politik, bukan demokrasi dengan politik makna seperti yang diungkap Clifford Geertz dalam “ The Politics of Meaning”. Artinya kepentingan besar adalah kepentingan kelompoknya bukan kepentingan hakikat demokrasi. Ketika aspirasi mereka tidak mendapat tempat dengan mudahnya atas nama demokrasi melahirkan kebijakan yang bertentangan dengan hakikat demokrasi .
Kedua, Kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Dalam politik menguasai parlemen menjadi sebuah keniscayaan dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan, ada yang menyebutnya Indonesia dengan sistem presidensial bercita rasa parlemeter. Alhasil, parlemen punya bargaining politik tinggi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Faktanya sekarang parlemen dikuasai oleh partai yang tergabung dalam KMP yang notabenenya “musuh politik” pemerintahan Jokowi-JK dengan KIH nya. Untuk itu menarik partai dalam KMP kepada KIH menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam gejolak demokrasi kita. Hal ini dengan mudah dibaca publik bagaimana Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Romahurmuziy mengalihkan dukungan pada KIH, padahal sebelumnya PPP di bawah Surya Darma Ali ada di KMP. Demikian juga apa yang terjadi di Golkar, Agung Laksono dengan tanpa tedeng aling-aling menyatakan Pro-Jokowi. Bahkan akan menjadikan Golkar sebagai mitra kritis pemerintah.
Ketiga, orientasi kekuasaan. Benar, dalam politik kekuasaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari politik. Bahkan ada yang menyebutnya politik adalah kekuasaan itu sendiri. Inilah yang merasuki tokoh-tokoh muda politik kita. Dengan ambisi kekuasaan mencoba mendobrak kemapanan politik dalam gerbongnya sendiri dengan memamfaatkan momentum dan tawaran-tawaran manis politik.
Keempat, sinyal matinya politik adiluhung dalam berdemokrasi dan berpolitik di Indonesia. Nilai-nilai etis demokrasi dan kultur budaya bangsa tidak lagi menjadi referensi penting. Sehingga berbeda selalu dimaknai dengan “musuh” yang mesti ditaklukan bukan sebagai “kawan” yang akan mengingatkan kala salah dalam melangkah. Alhasil membuatnya menjadi bagian “kita” harus dilakukan dengan cara apapun walau menabrak demokrasi, tapi tetap membungkusnya dengan nama demokrasi.
Menilik alasan tersebut sesungguhnya memperlihatkan kepada kita, bahwa demokrasi dan politik seakan berjalan ke arah lorong gelap yang tak ada cahaya. Apapun yang terjadi di lorong gelap orang tidak tahu. Dan dengan mudahnya pihak-pihak yang diuntungkan akan berbicara indah atas nama demokrasi. Bila kondisi ini terjadi dan dipelihara oleh bangsa Indonesia, Indonesia akan benar-benar jatuh pada lubang gelap demokrasi. Dan tidak menuntup kemungkinan demokrasi era terpimpin akan mulai bertapak kembali di bumi Indonesia.
Penting bagi pemerintah untuk memelihara alam demokrasi kita dengan melakukan tidak berpihak pada institusi-institusi yang pro pemerintah. Apalagi sampai melangkah jauh menciptakan “ konflik” di tubuh partai politik. Teori mengumpulkan kawan sebanyak-banyak dengan cara-cara meninggalkan konflik hanyalah akan menambah lubang-lubang musuh politik. Dan itu sangat berbahaya bagi kepentingan dan stabilitas politik bangsa Indonesia ke depan.
Sesungguhnya demokrasi Indonesia selama ini mendapat apresiasi dunia. Menjadi sebuah ironi yang menyesakkan dada bila “tandingan” adalah solusi ketika konflik politik terjadi. Padahal, ini adalah laku yang tidak baik bagi perjalan politik bangsa. Sebab meninggalkan bibit konflik pada komunitas tertentu bisa saja berujung pada konflik itu menyebati dalam tubuh, pikiran politik anak bangsa. Artinya sama saja menabur dan menyemai benih-benih konflik dan menumbuh suburkan konflik yang ada. Dan akhirnya lorong gelap demokrasi itu menjadi nyata dan sulit mendapatkan cahaya dan ujung jalannya.
Semoga pepimpin bangsa dan tokoh-tokoh politik belajar pada masa kelam bangsa ini. Dan semoga tidak kehilangan tongkat untuk melangkah dan tidak sedang menapaki lorong gelap demokrasi.***
Oleh Suhardi,
Penulis alumni S2 Universitas Kebangsaan Malaysia.