JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan bahwa Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau lebih populer dengan nama Tan Malaka adalah tokoh yang penting dalam pendirian Republik Indonesia dan sudah diangkat menjadi pahlawan nasional berdasar pada Keputusan Presiden RI No. 53, 28 Maret 1963.
"Tan Malaka adalah seorang nasionalis muslim. Yang jelas dia adalah seorang nasionalis. Ini satu hal yang membedakan tokoh-tokoh kiri yang lain, dan dia juga seorang muslim," ujar Fadli dalam diskusi "Pemikiran dan Perjuangan Tan Malaka" di Gedung DPR, Senin (27/3/2017).
Fadli juga mengungkapkan, Tan Malaka merupakan pemikir awal sebelum kemerdekaan Indonesia yang memiliki konsep tentang negara republik. Tan disebutnya sebagai konseptor pertama negara Republik Indonesia pada 1925 tahun yang ketika karya ini keluar belum terjadi peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928.
"Salah satu yang paling monumental adalah Naar de Republiek atau menuju republik. Itu gagasan dari Tan Malaka yang dituangkan dalam sebuah buku tahun 1925. Jadi ketika orang-orang belum ada pemikiran tentang Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah menulis menuju Republik Indonesia," jelas Fadli.
Fadli juga mengatakan, pemikiran Tan Malaka tentang negara berlandaskan pada nilai-nilai humanis. Dia juga dinilai sebagai revolusioner sejati yang mengharapkan Indonesia merdeka 100 persen. Konsekuensi dari itu Tan Malaka tidak pernah mau bekerjasama dengan kolonialis.
"Tan Malaka telah mengorbankan hidupnya demi republik tetapi yang amat disayangkan dia tidak bisa menikmati kemerdekaan Indonesia. Sekarang bagaimana menempatkan Tan Malaka lebih terhormat sebagai pahlawan," tandas Fadli.
Sebagai pahlawan nasional lanjutnya, hendaknya juga diapresiasi oleh pemerintahan berkuasa saat ini dengan cara memberi nama jalan Tan Malaka. "Saya usul nama Jalan Kalibata diganti dengan nama Jalan Tan Malaka. Sebab Tan Malaka pernah tinggal di kawasan Kalibata," ungkapnya.
Kalau di Sumatera Barat lanjutnya, hampir semua kabupaten dan kota sudah ada nama jalan Tan Malaka. "Bahkan di Kabupaten Lima Puluh Kota ada satu ruas jalan sepanjang 45 kilometer dengan nama Jalan Tan Malaka. Ini patut kita apresiasi," imbuhnya.
Dalam diskusi tersebut juga tampil sebagai pembicara, Harry A. Poeze, sejarawan dan peneliti Belanda yang konsen pada riwayat hidup dan pemikiran Tan Malaka.
Dalam penjelasannya dia membedah watak Tan Malaka sebagai seorang Minangkabau. Dikatakan, Tan saat berpidato di Komintern, yakni Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922.
"Tan Malaka secara terang-terangan mendukung gerakan Pan-Islamisme, saat masa kolonilisme. Dia mengatakan, Islam adalah kekutan evolusioner yang anti pada penjajahan," katanya.
Tan Malaka, ulasnya, menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua yang telah menekankan perlunya sebuah 'perjuangan melawan Pan-Islamisme'. "Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif dan memihak Islam," jelasnya.
Harry A Poeze menyatakan Tan Malaka sangat bangga akan tanah kelahirannya Minangkabau, di Sumatera Barat. Oleh karena itu dia menyebut Tan Malaka sebagai "Bapak Republik Indonesia" ini paripurna untuk menjadi representasi masyarakat Minangkabau.
"Sesuai dengan tradisi yang hingga kini masih berlaku di Minangkabau, merantau merupakan sebuah proses yang harus dilakukan oleh masyarakat Minang. Kalau proses tersebut sudah dilakukan, biasa perantau Minang pulang ke tanah kelahirannya untuk mempertinggi harkat dan martabat budayanya. Proses itu juga dilakukan oleh Tan Malaka. Karena itu, Tan Malaka sempurna disebut sebagai representasi masyarakat Minang," kata Harry.
Bahkan lanjut dia, Tan Malaka sudah dinobatkan sebagai Datuk oleh kaumnya di Nagari Pandam Gadang, Suliki - Kabupaten Lima Puluh Kota, sebelum memulai proses perantauannya ke Eropa dan Asia.
"Awalnya Tan Malaka berangkat ke Belanda sebagai guru untuk menambah pengetahuannya pada bidang pendidikan. Usai kuliah di Belanda, Tan Malaka kembali jadi guru untuk buruh kontrak di Pulau Jawa. Kesehariannya bersama buruh kontrak ini pula yang mewarnai pemikirannya tentang pergerakan," ungkap Harry.
Sedangkan sejarawan dari Universitas Indonesia (UI) DR Mohammad Iskandar menyebut Tan Malaka sebagai tokoh yang kesepian dan misterius sepanjang hidupnya.
"Dalam 20 tahun pergerakannya, Tan Malaka selalu berpindah-pindah tempat dan ganti-ganti nama. Saking misteriusnya, untuk memastikan apakah betul itu makam yang di Kediri, harus melalui juji DNA," ujarnya.
Tapi kata Iskandar, kalau mendengar cerita dari teman-teman di TNI yang masih hidup dan menyaksikan peristiwa di Kediri, Jawa Timur belum sepenuhnya pandam pekuburan di Desa Selopanggung itu jasad Tan Malaka di dalamnya.
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang