(riaumandiri.co)-Kasus korupsi yang melanda bangsa ini seakan tanpa akhir dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan. Mulai dari kasus kecil, seperti pungli puluhan ribu rupiah hingga korupsi trilunan rupiah. Pelakunya juga beragam, mulai dari pejabat desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri, sampai pembuat dan pengawal undang-undang seperti anggota DPR, hakim, jaksa dan polisi. Dan terbaru, kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang merugikan negara sebesar 2,3 triliun rupiah dan melibatkan nama-nama besar di negeri ini.
Maraknya kasus korupsi seakan-akan menggambarkan bahwa korupsi telah menjadi lahan bisnis yang laris manis nan menggiurkan. Bak teori ekonomi, break even point sangat cepat dan keuntungannya malah lebih besar dibanding dengan bisnis konvensional lainnya. Resikonya pun tidak terlalu berat. Hanya satu dua yang ketiban sial saja, yang menginap di hotel prodeo lebih dari 20 tahun, selebihnya di bawah 10 tahun. Itu pun masih bisa menikmati hasil keuntungan dari “bisnis” korupsi yang mereka lakukan.
Melihat begitu maraknya korupsi, penulis bertanya sendiri, apa sesungguhnya yang terjadi di negeri ini?. Benarkah korupsi seakan telah menjadi ladang bisnis?. Apa yang menyebabkan tumbuh suburnya “bisnis” korupsi?. Siapa yang salah?. Kalau ditemukan penyebabnya, bisakah negeri ini berhenti atau setidaknya bisnis ini menjadi bisnis yang tidak lagi menjanjikan keuntungan yang menggiurkan?. Sungguh rangkaian pertanyaan mudah untuk dijawab, tapi sulit untuk mengerti, memahami apalagi membumikannya. Kendati demikian, bukan berarti publik harus berhenti untuk melawan tumbuhnya jaringan bisnis korupsi di negeri ini.
Korupsi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Dalam bahasa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan, bahwa korupsi mencakup perbuatan: melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara. Bahkan dalam pasal 12B ayat 1, gratifikasi pun dianggap suap atau korupsi. Pemberian itu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Belum lagi ancaman hukuman dan denda untuk pelaku korupsi. Namun korupsi tetap saja bak bisnis yang selalu tumbuh dalam suasana resesi ekonomi.
Penyebab Korupsi
Dalam ranah teori, mengutip pendapat Jack Bologne, penyebab tumbuhnya korupsi itu, pertama, greeds. Yakni keserakahan dan kerakusan. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Sifat ini jelas dipengaruhi oleh pola dan gaya hidup yang hedonis. Ini didukung oleh sikap materialistik dan konsumtif masyarakat era modern. Orang akan merasa strata sosialnya tinggi, bila tumpukan materi mereka miliki. Sikap menilai materi adalah segala-segalanya, telah merasuki paradigma berpikir masyarakat. Bahkan sudah pada tahap “menuhankan” materi. Indikasi ini terlihat, bagaimana masyarakat memposisikan tinggi orang yang berpunya (the have) dalam komunitasnya. Kondisi ini akhirnya memicu orang untuk menggapainya dengan berbagai cara termasuk dengan korupsi.
Kedua, opportunity, sistem yang memberikan peluang kepada seseorang untuk melakukan korupsi. Dalam frasa popular yang kita kenal, kejahatan tidak hanya karena niat, tapi juga karena ada kesempatan atau peluang. Pejabat yang memiliki kekuasaan punya peluang untuk melakukan korupsi. Anggaran yang bermiliar bahkan triliun rupiah yang dikelola seakan memberi celah untuk keuntungan pribadi. Mindset pejabat sebagai orang yang “berkuasa” menjadi bagian tak terpisahkan. Peluang itu semakin terbuka ketika lemahnya pengawasan internal birokrasi, atau dalam bahasa Jusuf Kalla, akibat lemahnya pengawasan aliran dana pemerintah. Klitgaard menyebutnya kekuasaan yang tinggi (discretion of official), tapi lemah pengawasan (minus accountability).
Ketiga, needs, sikap mental yang tak pernah merasa cukup. Memiliki harta yang banyak tidak membuat orang merasa cukup dan puas. Menambah dan menimbun harta seakan tidak pernah ada titik jedanya. Ibarat minum air laut, semakin diminum semakin haus. Sikap tidak pernah merasa cukup ini sudah membatu dalam jiwa para koruptor. Sikap dan gairah inilah yang membuat libido manusia untuk menumpuk harta semakin bergelora. Dalam pandangan Maslow jika kebutuhan tertinggipun dianggapnya kebutuhan dasar (prime needs), maka apapun akan dilakukannya. Tak peduli harta itu sumbernya dari mana. Satu-satunya jalan untuk menghentikannnya adalah liang lahat alias kematian.
Keempat, exposes, hukum yang dijalankan kepada pelaku korupsi tidak pernah memberi efek jera. KPK sebagai lembaga terdepan yang memberantas korupsi tidak membuat takut dan jera para koruptor. Walaupun keputusan hakim akhir-akhir ini cenderung memberi hukuman berat pada pelaku korupsi. Namun realitasnya, korupsi tetap terjadi seolah tak terpengaruhi. Padahal hukum berat sejatinya akan membuat orang berpikir untuk melakukan korupsi. Benar apa yang dikatakan Ramirez Torres, korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation), bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi tinggi dan lebih besar dari hukuman yang didapat serta kemungkinan tertangkapnya kecil.
Politik Biaya Tinggi
Kendati teori yang diungkapkan oleh Jack Bologne memiliki kontribusi dalam menyebabkan lahirnya korupsi, namun penulis melihat ada celah lain yang menyebabkan korupsi itu terus tumbuh dalam berbagai ragam cuaca. Salah satunya adalah sistem politik kita yang memerlukan biaya tinggi. Akibat sistem ini sengkarutnya tidak hanya menyangkut ladang politik tapi berkembang ke ladang administrasi birokrasi.
Dalam tulisan saya yang berjudul, Mungkinkah “Saya” Jadi Gubernur?” menjelaskan bagaimana demokrasi dan sistem politik kita telah menempat uang menjadi “penentu utama” seseorang untuk meraih jabatan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat bagaimana besarnya jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk mengikuti sebuah pilkada. Bahkan menurut Data Litbang Kementerian Dalam Negeri biaya yang dikeluarkan oleh paslon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015 berkisar antara 20 sampai 100 milyar. Jumlah ini diprediksi naik dalam Pilkada serentak 2017 kemarin, mengingat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, bahwa pasangan calon diberikan kebebasan dan izin untuk menambah alat peraga kampanye dengan batasan yang sudah ditentukan, selain yang sudah ditanggung negara.
Potret besarnya biaya untuk mengikuti proses politik di negeri memberikan kontribusi untuk tumbuh suburnya bibit-bibit korupsi. Apalagi gaji yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan besarnya biaya yang telah mereka habiskan. Namun kenapa orang-orang masih berani mempertaruhkan milyaran rupiah untuk mendapatkan kursi kekuasaan?. Jangan-jangan setelah terpilih menjadi pemimpin mereka memperoleh keuntungan besar. Yakni keuntungan yang berbanding lurus dengan uang yang telah mereka habiskan. Dan keuntungan tersebut diperoleh dengan meniti jalan-jalan korupsi.
Sistem politik biaya tinggi ini kemudian berkelindan dalam membentuk perilaku politik rakyat. Buktinya, rakyat masih bisa dipengaruhi dengan bantuan sarana-prasarana, bahkan berani menukarkan pilihannya hanya dengan lembaran rupiah. Sikap ini sadar atau tidak semakin menguatkan laku korupsi dan melahirkan semacam penilaian di masyarakat bahwa tabiaat korupsi dalam dan untuk mencapai kekuasaan menjadi sesuatu yang lumrah. Ironisnya lagi kalau muncul ungkapan di masyarakat bahwa semua pemimpin hasil pilihan politik semuanya melakukan perbuatan korupsi alias menyuap rakyat.
Tabiaat ini kemudian merambat dalam sistem birokrasi. Seperti untuk menduduki jabatan tertentu harus mengeluarkan semacam uang setoran. Ini terbukti dengan berhasilnya KPK menangkap Bupati Klaten Hartini yang terindikasi melakukan jual beli jabatan pada 30 Desember 2016 lalu. Bahkan menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Efendi partik busuk jual beli jabatan ini bukan perkara baru di negeri ini. KASN pun telah melaporkan lebh dari 10 kepala daerah yang terindikasi melakukan jual beli jabatan ke Mendagri. Alhasil, jabatan-jabatan di birokrasi menjadi ajang bancakan oleh kepala daerah dan turunan tabiaat itu bermetamorfosis menjadi pungli dalam layanan publik.
Menilik penyebab tumbuhnya ladang korupsi serta kerugian yang akan dialami oleh bangsa ini seharusnya menyadarkan kita untuk terus menerus menghadang setiap adanya indikasi tumbuhnya bibit korupsi. Mulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga sampai komunitas yang terbesar. Dan juga meninggalkan sistem politik yang berbiaya tinggi. Parpol harus menjadi teladan terdepan dalam menampilkan dirinya sebagai wadah politik yang bersih, serta membuktikan bahwa untuk menjadi wakil rakyat tidak perlu melakukan tindakan membeli suara rakyat dengan politik uang dan tindakan korupsi lainnya. Sehingga akan lahir pemimpin-pemimpin yang punya kualitas, kapabilitas dan memiliki integritas yang tinggi, bukan pemimpin yang lahir dan terpilih karena uang yang banyak.
Sejatinya bangsa ini sudah terlalu lama dan lelah dengan korupsi. Kita bisa bercermin dari sejarah, bagaimana korupsi telah menjadikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1799 menjadi bubar, lantaran pejabatnya banyak melakukan korupsi. Ketika itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Kita khawatir bangsa ini akan hancur oleh korupsi sebagaimana yang terjadi pada VOC Hindia Belanda. Untuk itu sudah saatnya semua anak bangsa terutama yang menduduki jabatan tinggi di negeri ini tidak lagi tergiur dengan manisnya “bisnis” korupsi. Alhasil, negeri ini akan kokoh berdiri, maju dan sejahtera sedangkan korupsi terus terisolasi dan tidak lagi dilihat sebagai “bisnis” manis yang menjanjikan.***
Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)