(riaumandiri.co)-Pada awal tahun 2016, Badrodin Haiti yang kala itu menjabat sebagai Kapolri, dalam kesempatan Silaturahmi Nasional 90 Tahun Pesantren Gontor di Tangerang, menyatakan ada tiga kelompok besar organisasi radikal di Indonesia, yakni Jamaah Islamiyah, Tauhid Wal Jihad, dan NII. Haiti mengidentifikasi ada 21 organisasi pendukung ISIS di Indonesia, 15 diantaranya adalah Majelis Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaat al-Tawhid wal-Jihad, Pendukung dan Pembela Daulah Islam, Jemaah Ansauri Daulah, Ma’had Ansyarullah, Laskar Dinullah, Gerakan Tauhid Lamongan, Halawi Makmun Group, Ansharul Khilafah Jawa Timur, IS Aceh, Ikhwan Muahid Indonesi fil Jazirah al-Muluk, dan Khilafatul Muslimin. Data ini tentu saja mengejutkan semua pihak dan membuktikan bahwa radikalisme nyata secara faktual dan berpotensi menjadi ancaman nasional.
Isu tentang ormas Radikal kembali muncul akhir 2016 ketika meningkat Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang mendesak agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diadili karena dugaan penistaan agama. Keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di balik aksi anti penistaan agama dianggap telah meradikalisasi umat Islam dan mengembangkan pengaruh yang dinilai sebagian kalangan bertentangan dengan isu Kebhinekaan, Pancasila dan NKRI. Keberadaan FPI dianggap sebagai bentuk kegiatan ormas radikal yang membahayakan bagi kerukunan masyarakat.Begitupula termasuk aksi-aksi yang dilakukan oleh ormas Hitzbut Tahrir Indonesia yang mengkampanyekan khilafah sebagai kegiatan politik radikal karena bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pernyataan mengenai munculnya kelompok-kelompok yang mengusung ideologi radikal juga dilansir oleh Mayjend Thamrin Marzuki, Deputi II Bidang Dalam Negeri, Badan Intelejen Negara, dalam suatu acara di Hotel Bidakara, 15 Maret 2017. Menurutnya, keberadaan ormas berideologi radikal itu menjadi penyebab maraknya konflik sosial.Bahkan, ada indikasi kuat kelompok berideologi radikal itu menggunakan agama sebagai justifikasi, seperti halnya tuntutan tentang Khilafah Islamiyah dan penolakan isu gerakan kiri komunis.Penolakan ini bersamaan dengan momentum menguatnya sinyalemen bangkitnya kembali simpatisanmaupun kelompok politik eks PKI atau yang memang mengusung idelogi komunis untuk eksis ke politik.Maraknya berbagai propaganda politik simbol-simbol PKI dan komunisme telah memicu keresahan sosial dan dapat mengakselerasi terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat.
Pada tahun 1972, Samuel P. Huntington telah membuat suatu evaluasi dalam karyanya tentang “Political Order in Changing Society” terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat di negara-negara latin dan menyebut fenomena politik yang disebut sebagai “too rapid liberalization” atau kebebasan yang terlalu cepat yang menyebabkan ketidakstabilan sosial politik pasca jatuhnya rezim otoriter di negara-negara latin.Fenomena kebebasan yang terlalu cepat dan berlebihan tampaknya juga berlangsung dalam demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru.Eksplosi partisipasi politik dalam demokrasi melampaui kesadaran masyarakat tentang konsep dan nilai yang melekat dari kebebasan itu sendiri. Seolah-olah, demokrasi hanyalah kebebasan dan semua orang atau kelompok bisa melakukan apa saja atas nama kebebasan. Mereka lupa bahwa kebebasan dalam demokrasi juga ada batasan yakni tanggungjawab, aturan hukum dan kepentingan untuk menciptakan social and political order (tertib sosial dan politik).
Kebebasan kini dalam situasi yang dilematis, di satu sisi merupakan prasyarat penting yang harus dipenuhi dalam sistem politik demokrasi dan memajukan perlindungan terhadap jaminan Hak Azasi Manusia, sementara di sisi lain telah membuka kotak Pandora yang dimana seolah tidak boleh ada pengaturan atau retriksi yang dilakukan oleh negara dalam kerangka mengendalikan kebebasan dari watak dan potensi agresinya atas satu sama lain. Dalam situasi dilematis itulah kemudian, muncul kelompok-kelompok yang mengambil momentum untuk mengekspresikan pandangan dan mengartikulasikan sikapnya secara radikal baik atas justifikasi keyakinan keagamaan tertentu maupun ideologi politik tertentu.
Kebebasan politik memang harus dilindungi sebagaimana pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat, namun tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan negara dan merugikan masyarakat luas.Ideologi dan konstitusi negara harus menjadi parameter untuk mengevaluasi maraknya kelompok radikal yang mengusung paham dan agenda politik yang bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara. Menjadi sungguh aneh ketika seseorang atau kelompok muncul dan secara terbuka menyatakan pandangan dan sikapnya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tanpa konsekuensi apapun.Seolah ada pembiaran dan negara mentolerir keberadaan kelompok yang dapat mengancam kepentingan nasional. Sebut saja semisal dengan kelompok yang menyatakan terang-terangan menghendaki berdirinya Khilafah di Indonesia seperti Hitzbut Tahrir, sejumlah ormas yang mendukung teroris seperti ISIS, atau FPI yang dalam aksinya sering melibatkan penggunaan kekerasan dan tindakan melawan hukum, maupun sejumlah kelompok yang berada di balik propaganda komunisme.
Perlu Pengaturan Efektif
Jean Jacques Rousseau dalam Du Contract Social menulis, “every man has born free, but in chain( setiap orang terlahir bebas, tetapi juga dirantai)”. Pernyataan ini mengandung makna pengakuan terhadap kebebasan sebagai hak azasi manusia, sekaligus konsekuensi perlunya pengaturan atas kebebasan itu. Munculnya radikalisme merupakan ekspresi dari keyakinan kebebasan yang ekstrim sehingga merasa memiliki hak untuk menyatakan eksistensi dirinya melampaui kepentingan orang lain untuk melindungi eksistensinya. Radikalisme tidak hanya sebatas berpikir dan bertindak secara mengakar terhadap realitas tatanan sosial yang dihadapinya, tetapi telah berkembang hingga pemaksaan orang lain atau masyarakat pada pilihan yang mereka yakini tersebut.
Dalam kerangka pemikiran ini, kelompok radikal apakah berdasar justifikasi agama seperti pendukung ISIS dan penganut ideologi komunis, meyakini kebenaran tunggal dan menolak setiap yang berbeda dari mereka.Kelompok ini akan menggunakan berbagai pilihan yang dianggap efektif, termasuk kekerasan, untuk memaksakan kehendaknya. Ekspresi paling moderat dari kelompok radikal seperti ini adalah eksklusifitas, intoleransi dan apriori terhadap orang atau kelompok di luarnya.Ekspresi ini dapat berkembang hingga bentuk-bentuk agresi terhadap kelompok, menentang aturan, hingga perlawanan terhadap otoritas negara. Karena itulah, pengaturan secara efektif oleh negara terhadap potensi perkembangan ormas/kelompok yang mengarah pada radikalisme menjadi sangat penting.
Memang, bukan hal mudah menata kehidupan Ormas.Menurut data Kemendagri, ada sekitar 306.397 ormas yang terdeteksi, dan hanya 287 yang terdaftar. Di tingkat Propinsi ada sekitar 2.477 ormas tidak berbadan hukum, namun memperoleh surat keterangan terdaftar dari Pemerintah Daerah. Kementerian Hukum dan HAM mencatat sekitar 301.760 ormas berbadan hukum, disusul data Kementerian Luar Negeri yang menyatakan ada 66 ormas yang didirikan oleh warga negara asing di Indonesia. Angka resmi ormas yang terdaftar ini diduga jauh lebih kecil dibandingkan keberadaan ormas yang tidak terdaftar.
Demikian besarnya potensi ormas di masyarakat tentu menjadi kesulitan sendiri bagi negara, apalagi kewenangan yang dimiliki negara sangat terbatas secara hukum untuk melakukan pengaturan.Gagasan revisi UU Ormas karena itu perlu memperluas kewenangan pemerintah untuk melakukan penataan, termasuk membekukan, melarang dan membubarkan ormas yang bertentangan dengan ideologi negara, konstitusi dan membahayakan kepentingan nasional.
Proses penataan Ormaspenting diterapkan secara efektif guna mencegah terjadinya radikalisasi dan pemanfaatan ormas untuk kepentingan yang bertentangan dengan ideologi negara dan hukum yang berlaku. Sedangkandi sisi lain, penataan inijuga untuk menjamin agar tidak terjadinya absolutisme kekuasaan negara ketika merespon berbagai dinamika Ormas dalam masyarakat yang bisa saja hanya sekedar kritis terhadap kekuasaan atau menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Negara harus hadir dalam kerangka menciptakan tertib sosial dan politik dalam masyarakat yang sedang eforia kebebasan.Negara tidak boleh kalah dengan setiap bentuk gerakan radikal yang mengusung isu apapun. Langkah pembinaan persuasif, hingga penindakan represif dibenarkan sepanjang dalam kerangka penegakan hukum dan menjamin kepentingan masyarakat luas.
Penulis adalah mantan Direktur Komunikasi Massa di LSISI, Jakarta. Alumnus Udayana, Bali