(riaumandiri.co)-Hasil rekapitulasi pemungutan suara 101 Pilkada serentak tahun 2017 telah diumumkan.Hasil tersebut belum final mengingat 50 diantara 101 atau 50% peserta Pilkada itu mengajukan sengketa hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Jumlah gugatan ini lebih sedikit dibandingkan gugatan sengketa dalam Pilkada serentak sebelumnya yang mencapai 56% atau 152 dari 269 Pilkada. Dari keseluruhan gugatan sengketa Pilkada yang masuk ke MK tahun 2017 ini, diperkirakan hanya 7 daerah saja yang memenuhi syarat ambang batas selisih suara. Hal ini merujuk pada ketentuan dalam UU 10/2016 tentang Pilkada dan Peraturan MK No.1/2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan dimana pengajuan gugatan harus memenuhi persentase ambang batas selisih suara, yakni dari 0,5% hingga 2% sesuai dengan jumlah penduduk di daerah tersebut.
Kini, nasib sebagian hasil Pilkada serentak 2017 akan ditentukan oleh MK yang putusannya akan bersifat final and binding dalam sengketa Pilkada. MK sendiri telah memulai masa pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung antara 16-22 Maret 2017 untuk memeriksa persyaratan formil dan materi gugatan yang diajukan oleh pemohonan.Hal ini untuk menentukan apakah perkara yang diajukan dapat diteruskan karena telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, atau justru sebaliknya ditolak oleh MK. Jika perkara tersebut diputuskan dapat dilanjutkan, maka MK akan mulai menggelar persidangan dari tanggal 6 April-2 Mei 2017, disusul dengan rapat permusyawaratan hakim pada 3-9 Mei 2017, dan pembacaan keputusan pada 10-19 Mei 2017.
Selain gugatan ke MK, persoalan Pilkada juga menjadi ranah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terutama terkait dengan profesionalitas penyelenggara pemilu.Sejak November 2016, DKPP menerima sekitar 167 pengaduan dari 101 Pilkada serentak 2017. Banyaknya aduan ke DKPP karena sengketa Pilkada yang dapat diajukan ke MK telah dibatasi menyangkut objek yang dapat diajukan, yakni hanya terkait dengan perselisihan hasil pemilihan yang besarannya juga telah ditentukan. Hal ini membuat banyak peserta Pilkada menggunakan objek lain yang menyangkut dugaan kecurangan atau netralitas dari penyelenggara Pilkada yang dianggap merugikan kepentingan Paslon dalam Pilkada.
Pilkada serentak 2017 memang masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah.Pilgub DKI Jakarta sendiri berlangsung dua putaran.Begitupula dengan sejumlah Pilkada yang bersengketa baik di MK maupun DKPP.Sengketa Pilkada tidak mungkin dihilangkan sama sekali, peraturan perundang-undangan telah memberikan jaminan bagi peserta Pilkada untuk mencari keadilan melalui jalur hukum. Hal ini guna memastikan bahwa hak politik masyarakat yang disalurkan melalui Pilkada dapat terlindungi dari setiap potensi kecurangan maupun pelanggaran, baik oleh kontestan maupun penyelenggara Pilkada.Namun, jika melihat secara kuantitatif jumlah sengketa Pilkada maka dapat disimpulkan bahwa ada kemajuan dibandingkan periode sebelumnya. Tampaknya, baik masyarakat maupun peserta Pilkada mulai dewasa dalam pemahaman aturan dan proses politik demokrasi Pilkada.
Capaian penting lain dalam Pilkada 2017 adalah meningkatnya angka partisipasi pemilih. Menurut KPU, ada sekitar 46 daerah yang tingkat partisipasi pemilih berada di bawah target 77,5% angka partisipasi pemilih. Namun, data KPU RI juga menunjukan sekitar 55 daerah pelaksana Pilkada yang tingkat partisipasi pemilih di atas 77,5% atau melampaui target. Hal ini sekali lagi merupakan peningkatan kesadaran politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya, sekaligus kinerja penyelenggara Pilkada dan kontestan yang mampu membangkitkan antusiasme politik masyarakat terhadap Pilkada.
Begitupula dengan potensi sengketa Pilkada, terutama wilayah dengan potensi konflik sosial atau hotspot, seperti wilayah Papua, Papua Barat dan Aceh. Pada 24 Februari 2017 bertempat di Distrik Sugapa, paslon No. 3, Natalis Tabuni-Yann Kobogoyau secara gentlementmenerima kekalahannya, memberikan selamat atas kemenangan, dan mengharap agar paslon No. 2, Yulius Yapugau-Yunus Kalabetme, yang terpilih ini dapat menjaga perdamaian dan keamanan pasca Pilkada di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Sikap serupa juga dilakukan oleh paslon No. 2, Abdullah Manaray dalam Pilgub Papua Barat yang menyatakan bahwa pihaknya membatalkan rencana gugatan sengketa Pilkada ke MK, dan mengakui kemenangan paslon Dominggus Mandacan-Mohamad Lakotani. Pihak Abdullah Manaray juga menyatakan siap membantu pelaksanaan pembangunan Papua Barat, dan masih ada kesempatan untuk memimpin Papua Barat melalui Pilkada mendatang.
Sementara itu, untuk Pilkada di wilayah Aceh, sikap dewasa yang ditunjukan oleh kontestan maupun masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh Tenggara patut diapresiasi. Menurut penjelasan dari Dedi Mulyadi, Ketua KIP Aceh Tenggara, bahwa paslon No. 2, Ali Basrah-Denny Febrian Roza telah menerima dengan legowokekalahannya dan mengakui kemenangan paslon No. 1, Raidin Pinim-Bukhari. Hal ini tentu merupakan preseden baik yang menunjukan kematangan berpolitik, siap kalah dan siap menang dalam kompetisi politik Pilkada.
Catatan penting lain dalam pelaksanaan Pilkada juga terkait digelarnya Pemungutan Suara Ulang (PSU).Secara umum, pelaksanaan PSU tidak mengalami hambatan dan berjalan dengan baik tanpa gangguan keamanan maupun konflik antar pendukung kontestan. Menurut catatan KPU, PSU antara lain di gelar di 35 TPS di Kabupaten Nduga, Papua, 4 TPS di Kabupaten Tangerang dalam Pilkada Banten, 2 TPS di Pilkada DKI Jakarta, 1 TPS di Buleleng, 1 TPS di Pilgub Sulawesi Barat, 1 TPS di Halmahera Tengah, 1 TPS di Kampar Riau, 2 TPS di Kabupaten Buol, 1 TPS di Kabupaten Kepulauan Sangihe, 4 TPS di Pilkada Kabupaten Yapen, Papua, dan 8 TPS di Kabupaten Puncak Jaya.
Berbagai capaian penting dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2017 tentu saja merupakan hasil kerjasama erat antara penyelenggara, kontestan dan masyarakat, serta seluruh stakeholder terkait yang menghendaki agar Pilkada dapat menjadi sarana demokrasi yang berkualitas untuk memilih pemimpin daerah yang terbaik. Namun, harus pula diakui masih terdapat sejumlah persoalan yang perlu dibenahi guna meningkatkan perbaikan dan kualitas dari penyelenggaraan Pilkada. Karena itulah, perlu sejumlah perbaikan baik aspek teknis penyelenggaraan, kinerja penyelenggara, maupun regulasi guna mensukseskan Pilkada serentak 2018. Sejumlah usulan perbaikan itu antara lain:
Pertama, perlu peningkatan sosialisasi regulasi dan teknis penyelenggaraan Pilkada baik kepada masyarakat maupun kontestan dan pendukungnya. Hal ini penting karena secara faktual di lapangan masih timbul masalah akibat ketidaktahuan tentang aturan Pilkada, semisal teknis penggunaan hak pilih bagi mereka yang tidak tercantum dalam DPT, waktu pencoblosan yang telah terlewati, maupun aturan kampanye. Salah satu masalah nyata yang menjadi isu hangat adalah terkait dengan penggunaan hak pilih apakah masih dapat dilakukan atau tidak ketika waktu pemungutan suara telah selesai pada pukul 13.00.Perlu aturan dan pemahaman yang seragam bagi penyelenggara Pemilu, terutama KPPS mengenai jaminan penggunaan hak pilih bagi pemilih terdaftar.
Kedua, perlu komunikasi dan koordinasi yang lebih baik antara stakeholder penyelenggara Pilkada, terutama antara Kemendagri, KPU, Bawaslu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi dalam manajemen pelaksanaan Pilkada.Karena itu, keberadaan desk atau tim terkait Pilkada di instansi-instansi tersebut perlu untuk menyamakan persepsi dan membangun sistem koordinasi yang efektif agar dapat mengantisipasi setiap dinamika yang muncul dalam Pilkada serentak secara cepat.
Ketiga, perlu dipersiapkan daya dukung anggaran yang logis dan memadai sesuai dengan beban kerja dan tanggungjawab pelaksanaan Pilkada, terutama untuk kepentingan sosialisasi dan bimbingan teknis Pilkada bagi stakeholder terkait. Urgensi dari hal ini adalah untuk memastikan bahwa sosialisasi berjalan efektif serta menjangkau para pihak yang berkepentingan dengan Pilkada.Pemahaman aturan dan segala aspek terkait Pilkada secara memadai diharapkan dapat mencegah terjadinya pelanggaran Pilkada.
Keempat, perlu perbaikan dalam manajemen pengadaan dan distribusi surat suara dan formulir pendukungnya. Hal ini guna mengantisipasi sejumlah permasalahan di lapangan terkait dengan kurangnya surat suara maupun formulir pendukungnya yang kerap memicu sengketa akibat tudingan kesengajaan maupun netralitas dari penyelenggara Pilkada yang berimplikasi pada akses pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.
Kelima, perlu adanya pakta integritas dan peningkatan komitemen dari para penyelenggara Pilkada untuk memastikan prinsip imparsialitas dan netralitas dalam melaksanakan tugasnya.Hal ini terkait dengan masih banyaknya aduan ke DKPP yang objek permasalahannya terletak pada penyelenggara Pilkada itu sendiri.
Melalui perbaikan ini diharapkan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 dapat berlangsung lebih baik dan menjadi momentum bagi masyarakat untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan wilayahnya dengan kepemimpinan daerah yang baru dan berkualitas.
Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Peneliti dan pendiri Center of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia), Jakarta.