PEKANBARU(riaumandiri.co)-Hearing antara komisi DPRD Riau dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Riau, pekan kemarin, mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan. Sesuai dengan temuan dewan, ada kontraktor atau rekanan yang terkesan begitu perkasa dan berkuku di instansi tersebut. Tak tanggung- tanggung, kontraktor tersebut bisa memborong lima hingga tujuh proyek sekaligus.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting di mata dewan. Selain aksi borong proyek itu dinilai tidak etis, kondisi itu juga dinilai memiliki dampak negatif lainnya. Yaitu, pembangunan yang dilakukan kontraktor bersangkutan, bakal tak berjalan maksimal.
Salah satu penyebabnya, karena proyek- proyek yang diborong, kontraktor hanya lebih fokus untuk menyelesaikan pekerjaan, dengan mengesampingkan kualitas hasil kerja. Tak hanya itu, sikap yang terkesan pilih kasih itu, bisa saja menimbulkan rasa iri di kalangan rekanan lain.
Terkait hal itu, Sekretaris Komisi D DPRD Riau, Asri Auzar, berharap pengerjaan proyek seperti itu tidak terulang lagi.
"Itu kita sampaikan kemarin. Di Dinas PUPR (Riau), pada 2015 dan 2016, jangan terulang lagi di 2017. Mengapa demikian, karena pada tahun tersebut ada satu perusahaan bisa mendapatkan hingga enam paket," ungkap Asri Auzar, Senin (20/3).
Kondisi seperti itu, sebutnya, sepanjang masih mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku, tentu tidak ada masalah. Namun, lanjut Politisi Partai Demokrat tersebut, hal tersebut hanya kurang etis saja.
"Memang tidak ada masalah dan diperbolehkan oleh aturan. Namun di dalam etika kita berusaha dan bekerja, itu kurang etis. Makanya, untuk tahun ini tolong jangan itu terjadi lagi," harap Legislator asal Rokan Hilir tersebut.
Namun saat diminta apa nama perusahaan yang dimaksudnya, Asri Auzar mengaku tidak ingat. Pasalnya, selain telah terjadi pada tahun sebelumnya, dia pun mengaku pernah menyampaikan nama-nama perusahaan tersebut kepada awak media.
"Banyak. Kan sudah saya kasih dulu sama rekan-rekan wartawan. Pernah saya kasih itu," pungkasnya.
Mencolok
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Riau, Saiman Pakpahan,
persoalan itu sangat mencolok. Semua orang pasti tahu bahwa satu perusahaan atau kontraktor tidak akan mampu secara objektif mengerjakan lima sampai tujuh proyek di instansi tersebut.
"Dalam persoalan itu kita tentu tidak ingin hasil dari pelaksanan proyek yang dilakukan perusahaan itu divendorkan lagi kepada anak perusahaan lain yang kualitasnya tidak jelas. Ini kan menggunakan uang rakyat," ujarnya.
"Jadi kita tidak ingin uang rakyat itu dibelanjakan untuk kepentingan penguasa dinas PU dan jajarannya di atas kemudian pengusaha yang punya modal. Ini adalah diskusi-diskusi di antara mereka yang bisa dilakukan di mana saja, sementara yang mereka belanjakan itu bukan uang private bukan uang nenek moyang mereka, tapi itu uang rakyat yang harus dikembalikan secara baik kepada masyarakat," kata Saiman.
Menanggapi ketidaktahuan yang disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Riau, Dadang Eko Purwanto, terkait persoalan itu, Saiman menilai, hal itu malah semakin membuat rasa curiga semakin tegas. Sebab ada sesatu yang ditinggalkan disitu.
Secara kelembagaan, orang yang paling bertanggungjawab adalah pimpinan yang berada di lembaga itu. Karena itu, ketika pimpinan lembaga ditinggalkan dan ada kebijakan strategis yang diambil ketika dia tidak berada di tempat, itu semakin mencurigakan.
"Persoalan ini harus dilihat dari ranah administrasi, ini harus ditekan didiskusikan secara luas agar ini tidak menjadi contoh bagi yang lain," tegasnya. (tim)